Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto memaparkan peninggalan nenek moyang situs megalitik Tutari yang menjadi kapsul waktu untuk mengetahui kondisi peradaban dan alam saat itu. Suku Tutari sudah punah.
Situs megalitik selalu menarik ditelisik untuk mengetahui perkembangan peradaban manusia di suatu wilayah, salah satunya di Papua. Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) ke-10 berusaha mengupas Situs Megalitik Tutari yang berada di Danau Sentani Barat, Doyo Lama, Jayapura, Papua.
Menghadirkan Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto dalam Ceramah Umum Seri Arkeologi Papua pada Minggu (21/11/2021),BWCF ke-10 membahas tema "Pelestarian Motif Megalitik Tutari dalam Konsep Sustainable Development Goals (SDGs).
Suku Tutari diperkirakan hidup sekitar 600 tahun lalu di Danau Sentani Barat, Papua. Tutari dalam Bahasa Sentani memiliki arti yaitu 'Tu' yang artinya matahari dan 'Tari' yang artinya putaran.
Saat ini, Suku Tutari dinyatakan punah dan meninggalkan situs megalitik. Situs megalitik Tutari berada kawasan Bukit Tutari. Situs megalitik itu berupa sejumlah batu tegak serta deretan bongkahan-bongkahan batu yang dilukis dengan cara digores dalam berbagai motif seperti manusia, flora dan fauna endemik Danau Sentani, benda budaya, dan geometris.
Hari menyatakan situs megalitik Tutari sempat menjadi destinasi wisata para wisatawan dan atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2020 dan Pekan Paralimpiade Nasional (Perpanas) XVI Papua karena letaknya yang memang dekat dengan lokasi diselenggarakannya PON XX 2020 dan Perpanas XVI.
Tak hanya dilestarikan sebagai peninggalan sejarah, pemerintah setempat melalui Balai Arkeologi Papua berusaha menyejahterakan masyarakat di sekitar situs, Danau Sentani bahkan Jayapura melalui Situs Megalitik Tutari.
Itu sejalan dengan pencanangan SDGs.
"Dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs, kaitannya dengan situs megalitik Tutari itu yang nyambung adalah tujuan nomor 4 terkait Pendidikan Berkualitas, nomor 9 terkait Infrastruktur Industri dan Inovasi, nomor 13 Penanganan Perubahan Iklim, dan nomor 17 terkait Kemitraan untuk Mencapai Tujuan," kata Hari dalam rilis kepada detikTravel.
Motif-motif dalam situs megalitik Tutari berusaha dihidupkan kembali dalam lukisan dengan media kulit kayu yang dikerjakan sendiri oleh masyarakat Sentani. Lukisan motif Tutari tersebut disesuaikan dengan selera pasar atau wisatawan. Peminatnya pun dibagi menjadi dua, yaitu wisatawan milenial asal Indonesia yang lebih menyukai motif Tutari dengan warna dan latar belakang kekinian, sedangkan motif Tutari yang asli lebih banyak disukai oleh wisatawan luar negeri karena dianggap asli dan umurnya lebih tua.
Masyarakat di sekitar Danau Sentani yang memiliki tradisi membuat gerabah juga menuangkan motif Tutari dalam gerabah yang mereka buat. Perlu diketahui, gerabah asal Jawa dan Papua memiliki perbedaan.
Jika gerabah di Jawa memiliki pegangan, gerabah Danau Sentani tidak memiliki pegangan dan dasarnya berbentuk bulat sehingga butuh penopang tambahan.
"Motif Tutari yang dituangkan dalam gerabah Sentani menunjukkan konsep megalitik Tutari. Gerabah Sentani jika tidak memiliki penopang bisa goyah, sama dengan keyakinan Tutari yang menggambarkan bahwa pemimpin jika tidak ada rakyatnya sebagai penopang maka juga bisa goyah," Hari menambahkan.
Artikel ini berlanjut ke halaman berikutnya:
Simak Video "Berkeliling Jalanan Seminyak dengan Scooter di Bali"
(fem/ddn)