Banyak dari negara Eropa hingga Amerika telah melonggarkan perbatasan. Bagaimana kalau Indonesia?
Meskipun mengalami lonjakan kasus akibat varian Omicron, jumlah kematian dan perawatan di rumah sakit terus menurun sehingga Covid tidak lagi dianggap sebagai ancaman serius.
Dikutip detikTravel dari BBC Indonesia, Minggu (20/2/2022), sejumlah negara Eropa seperti Denmark, Swiss, Swedia hingga Inggris sudah tidak mewajibkan masker di ruang publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk lainnnya, club malam hingga pembatasan jam malam hingga kapasitas sudah tak lagi berlaku. Adapun sertifikat vaksin masih jadi kewajiban untuk keperluan tracing.
Sementara di Indonesia, per Senin (14/02) Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan bahwa masa karantina bagi pelaku perjalanan dari luar negeri dikurangi menjadi tiga hari, dengan syarat sudah menerima vaksin Covid-19 dosis ketiga atau booster.
Luhut juga membolehkan masyarakat yang sudah divaksinasi lengkap dan tidak punya komorbid untuk jalan-jalan tanpa perlu khawatir.
"Kalau memang dia sudah vaksin, sudah dua kali, sudah booster, tidak ada komorbid ya jalan-jalan saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan," kata Luhut.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 berlaku di seluruh pulau Jawa dan Bali. Di beberapa kabupaten di luar Jawa-Bali, masih berlaku PPKM level 2 dan 1.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan mengatakan Indonesia sudah mendekati puncak gelombang ketiga Covid-19 yang disebabkan varian Omikron.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan hal itu terlihat dari penurunan kasus Covid-19 yang terjadi di DKI Jakarta dalam empat hari terakhir. Kemenkes juga memperkirakan, dalam empat pekan ke depan lonjakan kasus Covid-19 akan terjadi di luar Jawa-Bali.
"Kami perkirakan karena 60-70 persen kasus konfirmasi itu dari DKI dan DKI ada tren penurunan seluruh wilayah DKI, maka kemungkinan kita sudah mendekati puncak kasus omicron ini," kata Nadia dalam konferensi pers, Rabu (16/02).
Selanjutnya: Kata Epidemolog
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono berpendapat, bahwa langkah-langkah pelonggaran pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat.
Ia menjelaskan setidaknya ada dua indikator untuk melakukan pelonggaran, yaitu jumlah kasus dalam bentuk positivity rate dan angka kematian.
Di Indonesia, jumlah kasus terus bertambah sejak pertengahan Januari. Pada Rabu (16/02), Indonesia mencatat 63.956 kasus terkonfirmasi - melebihi puncak gelombang kedua pada Juli lalu. Angka positivity rate saat ini sekitar 18%.
Jumlah kasus kematian juga terus bertambah pada bulan Februari. Jumlah kematian kembali menembus angka 100 sejak tanggal 11 Februari.
Bangsal perawatan di beberapa daerah mulai terisi, dan beberapa pemerintah daerah mulai mengerahkan kembali tim khusus pemulasaraan jenazah dengan prosedur penyakit menular.
"Jadi berdasarkan dua indikator itu, saya sebagai epidemiolog tidak menutup kemungkinan melakukan pembatasan sosial. Jadi memperketat, bukan memperlonggar," kata Miko.
Miko juga tidak setuju Indonesia sudah mendekati puncak gelombang ketiga. Menurut dia, gelombang kasus akibat varian Omicron biasanya mencapai puncak setelah satu atau dua bulan. Sedangkan Indonesia baru masuk gelombang ketiga antara akhir Januari - awal Februari, jadi belum sampai sebulan.
Ia menambahkan bahwa penyebaran kasus di suatu daerah amat tergantung pada luas wilayah dan jumlah penduduknya. "Jadi menurut saya tidak semua sama dengan Jakarta," ujarnya.
(rdy/rdy)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol