Reog Ponorogo menyimpan nilai-nilai luhur, terutama bagi masyarakat Ponorogo. Di samping itu, kesenian ini juga menjadi sarana menyindir penguasa.
Reog Ponorogo merupakan seni pertunjukan yang melibatkan lima tokoh utama yakni Prabu Kelono Sewandono, Singo Barong dengan Dadak Merak, Jathil, Warok, dan Bujang Ganong. Kelima elemen ini memiliki watak dan perannya sendiri-sendiri namun mampu bersatu menciptakan harmoni dalam pementasan.
Eksistensi kelima tokoh ini didasari pada sejarah munculnya Reog Ponorogo. Secara umum, ada 2 versi asal-usul Reog Ponorogo yakni Suru Kubeng atau Ki Ageng Kutu dan Bantarangin. Untuk versi Ki Ageng Kutu, reog ini lahir dari sindiran kepada Raja Brawijaya V yang dalam membuat kebijakan tunduk pada permaisurinya, Putri Campa.
"Untuk Suru Kubeng ini logika besarnya adalah kritik atau satire. Jadi tariannya untuk mengejek. Tarian kritik yang dalam bentuk seni Reog Ponorogo, Brawijaya V adalah barongan yaitu macan yang ditunggangi burung merak. Itu seperti Brawijaya V yang ditunggangi Dewi Campa karena kebijakan pemerintahan atau kerajaan didominasi istrinya," kata peneliti Reog Ponorogo, Rido Kurnianto.
Reog Ponorogo yang satire ini tetap dilanjutkan sampai hari ini. Menurut pengrajin Reog Ponorogo, Heru, reog merupakan kesenian yang turut berkembang sesuai zaman. Maka sindiran yang diberikan juga kontekstual dengan kondisi di Indonesia.
Salah satu bentuk adaptasi reog sesuai zaman terlihat pada bentuk barongan atau kepala macan. Sebagai pengrajin, Heru sudah beberapa kali membuat barongan dengan aneka bentuk.
"Dulu sempat nikus. Itu sindiran untuk orang-orang yang korupsi. Lalu barongan itu besar-besar kepalanya. Itu menggambarkan raja yang besar kepala. Ada juga yang mulutnya lebar-lebar, itu menggambarkan penguasa yang omong kosong," ujarnya.
Selain itu, dalam pertunjukan reog, sindiran juga dilakukan para penari jathil. Penari jathil yang juga mantan gemblak, Sudirman, menjelaskan tari jathil mulanya dibawakan oleh laki-laki dengan gerakan yang gemulai. Ini merupakan bentuk satire untuk para prajurit yang tidak berani berperang.
"Tari jathilan di tempat lain ditarikan dengan gagah perkasa, dengan energik. Lain dengan jathilan Ponorogo yang diitarikan dengan lemah gemulai, dengan lentur, dengan mengalun. Itu karena mungkin ini dicerita bahwa tari jathilan sebagai bentuk sindiran untuk prajurit Majapahit yang tidak memiliki sifat satria berani berperang," katanya.
Sudirman memaparkan sindiran ini dituangkan Ki Ageng Kutu, patih Kerajaan Majapahit untuk para prajurit yang tidak berani bertempur padahal sebelumnya sudah menaklukkan Malaka sampai Vietnam.
"Sebagai rasa kecewa dan marahnya, Ki Ageng Kutu membuat jathilan. Ini sebenarnya prajurit yang punya kepangkatan, pakai emblem dengan selempang. Tapi (dalam tari jathil) pakai kebaya, ini ironis. Dari situ bisa kita lihat ini adalah satire. Meskipun prajurit berkuda tapi gerakannya kemayu," ujarnya.
Baca juga: Mengenal Reog Ponorogo dan Pertunjukannya |
Simak Video "Video: Pemerintah Ingin Bangun Monumen Reog Ponorogo Setinggi 126 Meter"
(pin/fem)