TRAVEL NEWS
Mengenal Reog yang Sarat Nilai Luhur, Bikin Ponorogo Masyhur
Bagi masyarakat Ponorogo, kesenian reog telah mendarah daging. Punya sejarah panjang, reog terus lestari sebagai ikon kebanggaan Ponorogo bahkan Indonesia.
Datang ke Ponorogo, Jawa Timur, jangan kaget bila mendengar alunan musik gamelan dipadukan dengan teriakan 'hok'e...hok'e..haa'. Itu tandanya, ada pertunjukan reog yang sedang digelar.
Jika sudah mendengar musik tadi, tak ada salahnya untuk mendekat dan menonton kesenian tradisional itu. Traveler bakal melihat barong kepala harimau bermahkota bulu-bulu merak yang berputar-putar. Di sekitarnya terlihat prajurit berkuda yang disebut jathil, kelono sewandono, hingga bujang ganong yang turut memeriahkan gelaran.
Tak lupa di barisan depan terlihat para warok. Mereka digambarkan sebagai pria berbadan gempal, berpakaian serba hitam, berkumis dan berjambang lebat, serta wajah sangar yang akan membuat pertunjukan reog makin menarik.
![]() |
Pertunjukan reog di Ponorogo selalu ramai penonton. Menurut penuturan sesepuh Reog Ponorogo, H. Ahmad Tobroni atau akrab disapa Mbah Tobron, sejak dulu, orang Ponorogo memang mencintai kesenian ini.
"Orang Ponorogo sangat suka reog. Sampai-sampai kalau orang sedang menggoreng tempe di dapur, begitu dengar ada reog, gorengannya akan ditinggal sampai gosong," kata Mbah Tobron.
"Reog adalah kesenian adiluhung milik rakyat Ponorogo yang sangat dicintai penggemarnya," ujar pria berusia 87 tahun itu.
![]() |
Kecintaan masyarakat Ponorogo pada reog tak dapat dilepaskan dari keberadaan tokoh-tokoh dalam satu pertunjukan reog. Seperti yang sudah disinggung di atas, kelima peran utama dalam reog adalah kelono sewandono, singo barong dengan dardak merak, jathil, warok, dan bujang ganong.
Eksistensi kelima peran ini juga tak terlepas dari sejarah atau cerita yang dibawakan dalam pertunjukan reog. Peneliti Reog Ponorogo dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Rido Kurnianto, menjelaskan setidaknya ada 2 basis pertunjukan reog yang digunakan hingga saat ini yakni Suru Kubeng atau Ki Ageng Kutu dan Bantarangin.
"Suru Kubeng itu dilatari dari sebuah kritik dari Ki Ageng Kutu kepada Raja Brawijaya V," kata dia.
"Suru Kubeng logika besarnya adalah kritik atau satir, jadi tariannya untuk mengejek. Tarian kritik yang dalam bentuk seni Reog Ponorogo, Brawijaya V adalah barongan, macan yang ditunggangi burung merak. Itu seperti Brawijaya V ditunggangi Dewi Campa, karena kebijakan pemerintahan atau kerajaan itu didominasi oleh istrinya," imbuhnya.
![]() |
Dalam perkembangannya, Reog Suru Kubeng ini melahirkan Reog Obyok. Ini merupakan reog yang disukai masyarakat karena menghibur.
"Sesuai namanya, itu reog kerakyatan, gotong royong, kebersamaan. Itu tidak ada aturan baku yang penting menghibur tetapi basisnya satir," ujar Rido.
Lalu jenis yang kedua adalah Reog Bantarangin. Cerita yang melatarbelakangi munculnya pertunjukan ini berbeda dengan Suru Kubeng.
"Kalau Bantarangin, mereka memakai Kelono Sewandono melamar Putri Songgoloangit dari Kerajaan Kediri. Di sana kemudian urut-urutan pentas reog versi Bantarangin itu tari warok, tari jathil, tari ganongan, tari kelono sewandono, baru tari dardak merak," kata dia.
"Yang versi Bantarangin melahirkan reog panggung, reog garapan, atau reog sanggar yang dalam hal ini dipentaskan setiap tahun dalam festival nasional," ujarnya.
![]() |
Kendati memiliki perbedaan, Mbah Tobron mengungkapkan itu bukanlah masalah dalam pertunjukan reog. Ia yang sudah menekuni reog sejak 1948 itu justru melihat perbedaan ini menjadi hal yang menarik.
"Keduanya itu bersatu menjadi pertunjukan yang indah," ucapnya.
Kecintaan masyarakat Ponorogo pada reog tak hanya terilhat dari antusiasme saat menonton pertunjukan tetapi juga kesediaan untuk mempelajari dan melestarikan tarian ini. Usaha yang dilakukan juga sangat serius.
Selanjutnya: pelestarian Reog Ponorogo yang sistematis