Tari jathilan sejatinya diperankan laki-laki. Namun kini terjadi perubahan. Tari dalam pertunjukan Reog Ponorogo itu justru dibawakan perempuan.
Reog Ponorogo merupakan pertunjukan yang banyak berisi kritik dan sindiran. Salah satunya terlihat di tari jathilan yang dibuat untuk menyindir tentara Majapahit karena tidak berani berperang.
Sindiran terlihat dari penari laki-laki berpakaian ala tentara dan berkuda tetapi tarinya diperagakan secara lemah gemulai. Awalnya, para penari merupakan gemblak, remaja lelaki yang dikontrak warok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita mencari figur sesuai satire. Siapa yang dijadikan prajurit? Oh anak muda. Yang cakep, tampan, karena dirias sedikit akan kelihatan cantik. Jadi masuk ke dalam sindiran," kata pegiat Reog Ponorogo, Sudirman.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo Yudha Slamet Sarwo Edi menjelaskan, seringkali gambaran jathil yang kemayu ini membuat orang berpikir bahwa pemainnya memiliki penyimpangan seksual. Menurutnya, isu-isu seperti ini membuat lama-kelamaan jathil laki-laki hilang.
"Dianggap identik dengan penyimpangan seksual, lama-kelamaan orang menjadi gemblak menjadi malu karena mulai ada berita seperti itu. Akhirnya menjadi gemblak itu tidak mau," katanya.
Sementara itu, menurut cerita Dirman, munculnya jathil perempuan terjadi saat Ponorogo diminta menampilkan 100 reog di Pekan Raya Jakarta 1980. Acara besar ini dihadiri Presiden Soeharto.
"Kalau Ponorogo mengirimkan 100 reog, di mana 1 reog ada 2 penari jathilan, kalau 100 berarti harus ada 200 penari jathilan yang dibawakan laki-laki atau gemblak," kenangnya.
"Zaman itu sudah tidak ada karena anak-anak sudah tidak ada yang menjadi gemblak. Tahun 1975 sudah ada SD di desa-desa. Anak-anak tidak mau digemblak, sudah memiliki keinginan belajar, meningkatkan kemampuan, memperoleh pendidikan yang lebih bagus," kata Dirman.
Karena itu, mulailah muncul penari jathil perempuan. Saat itu, instruksi diberikan ke sekolah-sekolah agar siswi dilatih menari jathil untuk pementasan.
"Tidak ada penari jathil dan reog harus hidup. Kita kebingungan. Kemudian ada inisiatif penarinya perempuan saja," ujarnya.
Ketika itu, para warok sempat menentang ide penari jathil perempuan. Namun karena tak ada solusi lain, akhirnya perempuanlah yang mengiringi pertunjukan reog tersebut. Praktik itu pun terus berlanjut sampai hari ini.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Sepi, Waktu Tempuh 1,5 Jam dari Bandung Jadi Biang Kerok?
TNGR Blokir Pemandu Juliana Marins, Asosiasi Tur Bertindak