Suku Baduy memiliki kain tenusn khas yang masih bertahan hingga kini. Kain tenun Baduy memiliki keunikan tersendiri dan dihargai sampai jutaan rupiah.
Kali ini Road Trip Lintas Banten-Jawa Barat detikcom bersama NEW MG HS singgah di sejumlah daerah. Salah satunya Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
detikcom menjelajahi area perkampungan didampingioleh Bohani, anak kepala desa. Kebetulan saat itu, Saija, sang kepala desa sedang ada tugas di Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bohani mengajak kami untuk melihat pewarnaan benang untuk kain tenun oleh sebuah kelompok. Kelompok pewarna alami ini beranggotakan 5 orang, Jahadi jadi salah satunya.
Pengerjaan dilakukan di bagian belakang rumah. Sebuah saung menjadi tempat pengerjaan mereka. Benang dengan berbagai warna dijemur di sana.
![]() |
Sambil merebus kayu, Jahadi menjelaskan bagaimana mereka mendapatkan warna-warna alami tersebut.
"Warna didapat dari kayu, warna kuning dari kayu Galih Nangka, warna biru dari kayu Tarub, ungu dan coklat dari mahoni," kata dia.
Langkah pertama yang dilakukan adalah merebus kayu tersebut sampai setengah hari. Setelah warna keluar, benang yang sudah digulung akan direndam selama satu minggu.
"Kain sengaja digulung untuk memudahkan pewarnaan," dia menjelaskan.
![]() |
Belum selesai sampai di situ, setelah direndam kain harus dijemur sampai 4 hari. Kalau hari hujan, pasti dibutuhkan waktu yang lebih lama.
"Tapi dari semua warna yang paling susah itu biru. Katu tidak langsung direbus tapi harus dibuat pasta dulu," ujar Jahadi.
Pemilihan warna juga tidak bisa sesukanya, tergantung stok kayu. Kelompok Jahadi mendapatkannya dari pabrik kayu di dekat kampung.
"Kayu diberikan langsung oleh pemilik pabrik, malah mereka senang karena enggak ada yang terbuang," kata dia.
Benang yang sudah diberi pewarna alam tidak semua dijual. Sebagian diberikan pada istri untuk ditenun dan dijual dalam bentuk kain.
![]() |
"Harga benang Rp160 ribu per kilo, itu sudah bisa jadi dua kain," kata dia.
Kelompok ini berdiri pada tahun 2018 dan mulai dicari oleh warga. Jahadi mengaku bahwa mereka sering kehabisan stok alias laris manis.
"Dulu awal-awal kami harus patungan Rp 200 ribu per orang untuk membeli bahan," katanya.
Kini bisnis mereka mulai berkembang. Keuntungan dari penjualan dikumpulkan untuk pengembangan bisnis secara bertahap.
Melihat proses pewarnaan yang panjang dan lama, traveler bisa makin tahu mengapa harga kain tenunBaduy bisa tembus sampai jutaan. Sudah proses pewarnaan yang rumit,menenunnya pun butuh waktu sampai sebulan!
Baca juga: Unik, Desa Adat Ini Punya 'Bank Padi' |
(bnl/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol