'Merawat Sejarah Bisa Selamatkan Depok dari Bulan-bulanan di Medsos'

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

'Merawat Sejarah Bisa Selamatkan Depok dari Bulan-bulanan di Medsos'

Weka Kanaka - detikTravel
Senin, 06 Mar 2023 08:15 WIB
Pengadaan lampu penerangan jalan umum (PJU) etnik di trotoar Margonda, Depok, terkendala anggaran. Dari target pengadaan, Pemkot Depok baru dapat membeli 25 lampu.
Depok seharusnya bisa lebih maju ketimbang saat ini. (Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom)
Depok -

Depok kerap menjadi perbincangan hangat gegara kebijakan dan peristiwa tidak biasa. Berkaca masa lalu, seharusnya wajah Depok bisa jauh lebih sip ketimbang saat ini.

Salah satu cara agar Depok tidak menjadi bulan-bulanan di media sosial yang ditawarkan adalah dengan merawat sejarah. Depok memiliki modal setidaknya memiliki kurang lebih 21 monumen dan bangunan yang bersejarah. Itu seperti yang dipresentasikan oleh Penutur Sejarah YLCC, Boy Loen, pada kegiatan tur jalan kaki di Depok Sabtu (25/2/2023).

Bangunan yang tersisa seperti bekas kantor Gemeente Bestuur Depok yang sempat jadi Rumah Sakit Harapan Depok, terdapat pula beberapa rumah sejak era kolonial yang salah satunya beralih rupa jadi Cornelis Koffie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, Depok, khususnya kawasan Depok Lama, sejak dulu sudah memiliki rel kereta api dan aliran listrik. Depok di masa lalu merupakan tempat persinggahan dari beberapa petinggi VOC. Salah satu yang terkenal adalah Cornelis Chastelein, yakni tuan tanah sebagai pemilik tanah partikelir di kawasan Depok.

Namun Depok di masa kini justru identik dengan hal-hal mistis dan di luar nalar. Mulai babi ngepet yang ternyata hoax dan karangan, munculnya seorang yang mengaku sebagai Imam Mahdi, kebijakan lagu di lampu merah, hingga keranda terbang.

ADVERTISEMENT

Penutur sejarah Boy Loen menilai kegagalan Depok untuk berlari kencang mengimbangi pertumbuhan ibu kota membuat kawasan itu semakin tertinggal. Apalagi, pemerintah tidak menganggap revolusi di Depok di masa lalu--pembebasan budak oleh Cornelis Chastelein-- merupakan momen pentong bagi Depok.

"Lima tahun yang lalu, YLCC ingin membangun kembali monumen itu. Namun, kami mendapatkan hambatan, terutama dari pemerintah Kota Depok. Karena Depok adalah kota yang baru, pejabat-pejabatnya banyak dari lain daerah, sehingga mereka enggak mengerti, sejarah Depok yang sebenarnya," ujarnya.

"Enggak mengerti Undang-Undang monumen, bahwa monumen itu enggak boleh dihancurkan," dia menambahkan.

Kesulitan itu terjadi karena Cornelis Chastelein yang merupakan salah satu anggota dari VOC, dicap sebagai penjajah yang tidak perlu diabadikan nama dan jasanya.

"Jadi waktu kita ingin bangun kembali, berhenti, dengan alasan "kok untuk penjajah didirikan monumen?" itu artinya (mereka) tidak memiliki kearifan lokal. Karena itu dia tidak mengerti sejarah sebenarnya mengenai ini," kata dia.

Padahal, Cornelis Chastelein merupakan tokoh berpengaruh dalam sejarah Depok, khususnya pada era kolonial. Dia merupakan tuan tanah partikelir Depok dan mengelola Depok sebagai tanah produktif dengan membawa budak-budak dari berbagai daerah untuk mengelola lahan, hidup, serta belajar di Depok. Ketika dirinya meninggal, dia lah yang membuat wasiat yang isinya turut membebaskan para budak yang dimiliki.

Senada, sejarawan Asep Kambali miris melihat perkembangan Depok yang seolah tanpa arah.

"Sejarah Depok beragam, saya lebih mempercayai Depok sebagai jamaat Kristen pertama, karena ada Cornelis Kasthelein, yang budak-budak dibebaskan menjadi Kristen," kata Asep.

Seharusnya, lanjut dia, Depok juga bisa lebih nyaman buat tempat tinggal. Sebab, berbeda dari Tangerang dan Bekasi yang dibangun sebagai pusat industri, Depok menjadi permukiman.

"Tetapi, lama-lama Depok seperti tidak memiliki visi, ada bangunan tua dan kemudian tidak terawat dan tersentuh. Bahkan, Depok, setahu saya, juga tidak mempunyai museum, padahal beberapa titik sejarah ditemukan di Depok khususnya di jalur Sungai Ciliwung. Beberapa sejarah juga ditemukan seperti monumen atau bangunan bersejarah," dia menjelaskan.

"Kalau pemerintah bisa serius, bisa jadi destinasi pariwisata. Karena enggak mempunyai visi serius jadi enggak ada pembangunan ke arah situ. Sangat disayangkan pemerintah tidak peduli atau merawat hal-hal bersejarah itu," kata Asep lagi.

Asep menyebut seharusnya peninggalan sejarah, baik bangunan fisik ataupun kisah melegenda, bisa menyelamatkan wajah Depok.

"Bisa banget sejarah menjadi penyelamat Depok. Karena, sekarang hidup manusia ada dua alam, dunia nyata dan dunia maya. Bisa jadi kehancuran kota Depok berawal dari dunia maya terlebih dulu jika tidak dirawat, yang nanti juga bisa merembet ke dunia nyata. Jadi, kalau pemerintah kota Depok tidak mempunyai kebijakan di dunia digital itu sama saja bohong. Pemerintah harus lebih dapat peduli dan memanfaatkan apa yang Depok miliki, seperti sejarah untuk bisa merawat nama Depok, baik di dunia nyata dan juga dunia maya," dia menegaskan.

Mengingat berbagai pemerintah daerah lain seperti Bekasi yang me-revitalisasi Gedung Juang 45, atau Jakarta yang merevitalisasi berbagai taman kota dan monumen, Pemerintah Depok juga mestinya dapat mengambil langkah yang sama.

Dengan memahami sejarah dan mengelola peninggalan sejarah yang ada, bisa saja hal ini yang akan jadi penyelamat dan memperbaiki wajah Depok di masyarakat umum. Selain itu, dengan mengelola tempat bersejarah agar dapat diakses umum juga dapat membawa banyak orang untuk lebih mengenal Depok dari dekat.




(fem/fem)

Hide Ads