Fenomena turis asing bekerja secara ilegal di Bali ternyata sudah ada sejak 1970. Hal itu diungkap oleh Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali.
Ketua Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali, I Wayan Puspa Negara, mengatakan, Warga Negara Asing (WNA) bekerja ilegal mulai marak sejak adanya kaum hippies masuk ke Bali, pada tahun 1970-an.
Pria yang juga menjabat Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Legian, Kuta, Kabupaten Badung, mengungkapkan, sejak dulu juga turis asing yang merupakan kaum hippies sudah bikin ulah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya kondisi ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Sejak bule-bule mulai masuk ke negara kita, terutama ke Bali. Dulu mereka ada kaum hippies dan berbuat ulah dari dulu sebenarnya," kata Puspa, saat dihubungi Kamis (9/3).
"Dulu ada kaum hippies, ada dari Amerika, Eropa dari Jerman dan saat ini berkembang, sekarang mereka banyak (diketahui) menyalahgunakan visa karena ada media sosial," imbuhnya.
Puspa menyebut, dulu ketika masuknya kaum hippies banyak juga WNA yang bekerja secara ilegal di Bali, bahkan ada yang menjadi guide dan instruktur surfing.
"Banyak juga wisatawan yang bekerja, bahkan menjadi infrastruktur surfing, fotografer, jadi guide. Karena media sosial (baru ramai), bule sudah bekerja sejak lama. Karena viral saja ada kejadian aneh-aneh dari dulu sudah banyak bule bekerja dan penyalahgunaan visa sudah terjadi tahun 1970," ungkapnya.
Dia menegaskan, tentang WNA bekerja secara ilegal di Bali tentu perlu pengawasan yang ketat oleh imigrasi sebagai palang pintu pengawasan orang asing.
"Kan sudah ada Timpora (Pengawasan Orang Asing)dari imigrasi. Kita mendukung langkah-langkah yang dilakukan imigrasi untuk menindak tegas, bila perlu segera melakukan deportasi terhadap warga negara asing yang (melakukan) penyalahgunaan visa," ujarnya.
Puspa juga menuturkan, sebenarnya pariwisata di Bali tumbuh dengan alamiah. Tetapi, justru WNA memanfaatkan situasi sehingga secara tidak langsung ada penjajahan ekonomi yang dilakukan WNA di Bali.
"Mereka ada yang menjadi instruktur surfing, iya harusnya warga kita bisa melakukan itu, tapi mereka mengambil alih, mereka ada jual di properti yang harusnya warga kita melakukannya. Jadi, ada semacam penjajahan ekonomi yang sifatnya tidak bersenjata, semacam itu," katanya.
"Makannya kita butuh pengawasan ekstra ketat dari imigrasi terutama Timpora. Kita, hanya bisa memberikan informasi ada tamu yang sudah tinggal lama, seperti misalnya daerah kita, ada tamu yang tinggal lebih 40 tahun kita informasikan ke imigrasi, tinggal imigrasi yang bergerak. Kami sudah informasikan semuanya kepada imigrasi termasuk yang tinggal lama dan yang bekerja," jelas Puspa.
(sym/sym)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol