TRAVEL NEWS
Kisah Pendaki RI Pertama yang Sukses Taklukkan 'Gerbang Kematian'

Gunung Eiger di Swiss dikenal berbahaya hingga dijuluki Gerbang Kematian. Kelompok pendaki asal Indonesia pernah menaklukkannya.
Tiga puluh tujuh tahun silam, rombongan pendaki Indonesia berhasil menjinakkan Gunung Eiger. Mereka adalah Harry Suliztiarto, Mamay Salim, beserta timnya yang dinobatkan sebagai pendaki Indonesia pertama yang mencapai puncak Eiger.
Mereka menceritakan kengerian dan lika-liku pendakian saat itu, dalam acara media gathering di Eiger Flagship Store di Jakarta, Rabu (15/3). Harry bercerita, rombongan mereka harus melakukan pendakian selama dua kali yakni pada 1985 dan 1986 sebelum akhirnya berhasil mencapai puncak gunung tersebut.
Pendakian pertama pada 1985 gagal karena mereka salah memilih musim. "Kita pikir Juni, Juli, Agustus itu sudah oke. Ternyata kita masuk Juli akhir ke sana masih winter (musim dingin). Tapi kita naik juga, tapi ada orang sana menyatakan jangan ambil daerah sini, ini daerah longsor," ujar Harry.
"Eh benar, saya mengambil Mamay masih hidup di longsoran. Jadi Mamay hilang. Tinggal saya sama Heri," kenang Harry.
Lalu selepas kegagalan pendakian yang pertama, akhirnya mereka pun mempersiapkan pendakian keduanya dengan cukup rumit, mulai dari persiapan fisik hingga tes psikologi.
"Jadi tahun 85 kita disapu sampai kebawah, lalu kita batalkan. Kemudian tahun depan kita diperiksa dulu. Kita diperiksa oleh Psikologi AD, 'coba tolong diperiksa orang-orang ini sehat atau tidak', akhirnya kita lolos," katanya.
Persiapan yang dilakukan saat itu juga bukan main-main. Mereka sampai simulasi es di dalam cold storage dengan -30 derajat celcius agar dapat membiasakan dengan suhu di sana.
"Yang pernah ke es hanya saya, Mamay dan yang lainnya belum pernah. Jadi kita belajar es, itu kita masuk ke cold storage di Jakarta. Selama 24 jam kita didinginkan -30 celcius. Kita keluar ke Jakarta kulit kita pecah semua, karena Jakarta 35 derajat celcius di dalam minus 30 derajat celcius," ujarnya.
Untuk makanan dan perbekalan ketika mendaki juga disiapkan secara khusus agar ringkas tapi dapat mencukupi kebutuhan. Hal ini perlu dilakukan mengingat perjalanan yang dilakukan sangat panjang dan melelahkan.
"Makanan kita itu kita ngeset sendiri dalam bentuk bubuk. Kita press sendiri, kita timbang sendiri, kita bawa makanan untuk 19 hari. Kita naik Eiger selama 13 hari kita tidurnya gantung. Minumnya dari es yang meleleh, kita tadangin, warnanya juga nggak cerah airnya tapi kita sikat aja," ceritanya.
Gunung Eiger tak salah untuk dijuluki sebagai 'gerbang kematian'. Hal tersebut karena medannya yang sangat berat dan sering ditemukan bebatuan yang jatuh sampai mengancam pendaki.
"Kita juga ada istilah di sana, ada batu cari nama. Itu setiap jam ada batu jatuh dari atas. Jadi batu itu cari nama, begitu dia lewat kita nggak kena, wah bukan cari nama kita, ada juga yang ditangkis sama kita, jam kita hilang. Jadi kita percaya sendiri ini Mamay, Harry, atau siapa nih (yang kena)," tuturnya.
"Ada buku Wall of Death, oh ini dinding kematian. Ada semangat satu kebersamaan di antara anggota tim, semangat demi negeri tercinta, demi merah putih, itulah yang memicu kita, oiya demi merah putih yaudah kita jalanin saja," Mamay menambahkan.
Selain berbagai rintangan tadi, yang menjadi tantangan tersendiri di Gunung Eiger adalah besarnya gunung dan kecuraman yang tak biasa. Bentuknya tak hanya menjulang tinggi ke atas, tapi juga melengkung.
"Ujungnya ada di sana, puncaknya seakan di sini. Jadi gunungnya bukan berdiri tegak, tapi agak melengkung, seperti kobra. Serem, tapi demi negeri tercinta," Mamay bercerita.
Akhirnya rombongan mereka berhasil menaklukan Gunung Eiger pada 9 Agustus 1986. Mereka menjadi rombongan pendaki pertama yang menaklukan Gunung Eiger.
Simak Video "Pihak Eks Puteri Indonesia Nilai Ada Kejanggalan di Kasus Penggelapan WNA"
[Gambas:Video 20detik]
(wkn/pin)