Pemerintah Amsterdam membuat sejumlah perubahan di kawasan wisata seks Red Light. Namun hal ini mendapatkan protes keras dari pekerja seks.
Para pekerja mengaku terdampak negatif dari pembaruan yang dilakukan. Mereka harus menghadapi pengurangan jam kerja, sewa tempat yang lebih mahal dan risiko pekerjaan yang lebih tinggi. Mereka merasa aturan baru di Red Light ini justru membuat mereka kurang aman.
"Kami telah melihat beberapa perubahan dramatis," kata seorang pekerja seks bernama Phoebe seperti dilansir dari Insider, Rabu (19/4/2023).
"Saya pikir banyak dari kita berharap mungkin tidak melihat dampak selama beberapa minggu, atau mungkin berbulan-bulan, tetapi sejak malam pertama, ada beberapa perubahan yang cukup dramatis," sambungnya.
Sebenarnya, kehadiran Red Light di Amsterdam sudah lama menjadi topik perdebatan di kalangan pejabat. Distrik ini terkenal dengan deretan jendela yang dipenuhi pekerja menawarkan layanan erotis termasuk prostitusi.
Walikota Amsterdam Femke Halsema berpendapat bahwa distrik tersebut menarik penjahat dan turis yang suka berpesta dan berkelahi, mengotori jalanan, dan melecehkan para pekerja. Oleh sebab itu, mulai 1 April 2023, terdapat perubahan aturan.
Salah satunya adalah munculnya operator loket yang menyewakan ruang untuk pekerja seks beroperasi dalam bisnis mereka. Lalu pekerja seks juga tidak diizinkan melayani tamu antara jam 3-6 pagi.
Dengan adanya pembatasan ini, Phoebe mengatakan durasi bekerja para pekerja seks akan lebih terbatas. Selain itu, harga sewa jendela juga akan meroket karena ada banyak permintaan namun ruangan yang tersedia terbatas. Phoebe juga khawatir, aturan baru itu justru akan membuat pekerja seks semakin terancam karena opsi jam pulang kerja mereka yang terbatas, terutama di pagi hari.
"Jika Anda seorang pekerja seks yang bekerja dengan pendapatan berbasis uang tunai, maka Anda membawa banyak uang tunai pada saat itu, jadi tidak perlu penjahat atau perampok jalanan yang sangat pintar untuk mengetahui bahwa itu saat yang tepat untuk berkeliaran," kata Phoebe.
Kata dia, jam kerja yang lebih pendek mendorong pekerja untuk membawa klien ke rumah mereka atau lokasi lain yang kurang aman untuk bekerja. Para pekerja shift malam tentunya akan memilih pulang di pagi menuju siang ketika transportasi dan pertokoan mulai beroperasi.
Sementara itu, Halsema sebenarnya berniat untuk menutup Red Light. Ia ingin membangun pusat erotis yang memberikan layanan seksual di tempat lain yang lebih aman dari kriminalitas.
"Saya harap itu mungkin untuk bisa menciptakan pusat erotis yang memiliki kelas dan perbedaan dan bukan tempat di mana hanya penjahat kecil dan wanita paling rentan berkumpul," katanya.
Dia menambahkan, "tapi saya juga menyadari ada jalan panjang di depan kita karena kebanyakan orang mengasosiasikan pekerjaan seks dengan kejahatan dan dengan kerentanan perempuan, dengan pelanggaran hak asasi manusia. Jadi di kebanyakan lingkungan, kebanyakan orang tidak begitu antusias dengan pusat erotis."
Benar saja, para pekerja seks memang tidak antusias dengan ide ini. Ratusan orang pun berunjuk rasa dengan turun ke jalan. Alasannya, tindakan walikota didasarkan pada stereotip tentang pekerja seks yang perlu diselamatkan dan perubahan tersebut tidak benar-benar memprioritaskan kebutuhan mereka.
"Kami benar-benar tidak setuju dengan solusi yang mereka tawarkan, yang mereka paksakan. Mereka bahkan tidak bernegosiasi dengan organisasi pekerja seks," kata pekerja seks Sabrina Sanchez.
"Kami tidak ingin dipindahkan, tidak ke pusat erotis atau di mana pun," ujar pekerja seks lainnya.
"Lakukan sesuatu pada pengedar narkoba, lakukan sesuatu pada mereka yang berperilaku tidak sopan!" kata yang lain.
Sampai saat ini titik temu antara pekerja seks dan pemerintah memang belum ada. Keduanya sama-sama bersikukuh bahwa mereka paling tahu yang terbaik untuk masa depan Red Light.
Simak Video "Video: Ribut-ribut Suporter Israel di Amsterdam Gegara Bakar Bendera Palestina"
(pin/pin)