Wisata ekstrim belakangan semakin marak diminati masyarakat, mengapa banyak orang suka dengan aktivitas tersebut? Dan apa dampaknya?
Masyarakat dunia telah dihebohkan atas kejadian hilangnya sebuah kapal selam wisata, kapal itu bertujuan ke reruntuhan Kapal Titanic di dasar laut Atlantik Utara.
Kejadian yang mengerikan tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa banyak orang yang berminat melakukan wisata berisiko, baik ke lokasi terpencil, hingga tempat-tempat yang tak terbayangkan sebelumnya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah harus ada lebih banyak pembatasan terhadap wisatawan yang mencari adrenalin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari The Conversation, Sabtu (24/6/2023), jenis wisata ekstrim tersebut akrab dikenal dengan 'Frontier Tourism' dan telah menjadi bisnis besar, hingga disebut bernilai miliaran Dollar.
Frontier Tourism menyuguhkan petualangan yang eksklusif dan ekstrim. Wisata ini sangat mahal, bertujuan untuk merangsang indera manusia dan pergi ke batas terluar planet, misalnya samudra dalam, pegunungan tinggi, daerah kutub, dan bahkan luar angkasa.
Sebelum disebut dengan istilah Frontier Tourism, model wisata seperti ini bukan hal baru, karena manusia telah menjelajahi lokasi-lokasi terpencil selama ribuan tahun lalu. Orang Pasifik misalnya, yang menggunakan bintang-bintang untuk menavigasi samudra dalam migrasi dan perdagangan. Orang Eropa berlayar ke bagian ujung laut, karena mereka ingin membuktikan Bumi datar.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Frontier Tourism telah menarik perhatian banyak orang. Hal tersebut terlihat dari antrian panjang di Gunung Everest, fenomena TikTok yang sedang tren saat melintasi Drake Passage di Antartika, dan pesatnya perkembangan pariwisata luar angkasa bagi orang-orang kaya.
Maraknya masyarakat yang berbagi konten wisata di sosial media, serta kondisi setelah tidak ada pembatasan wisata akibat COVID-19, membuat wisata ini melonjak popularitasnya.
Mengapa orang terobsesi dengan wisata ekstrim?
Wisata ekstrim walaupun membahayakan, terkadang jadi kesenangan tersendiri bagi seseorang. Hal tersebut karena aktivitas berisiko dapat melepaskan zat kimia di otak yang dapat membuat ketagihan.
Penelitian menunjukkan bahwa menikmati aktivitas wisata berisiko, seperti mendaki gunung yang tinggi, bisa memunculkan perasaan puas dan euforia. Para wisatawan melaporkan bahwa mereka merasa hidup dan mengalami transformasi setelah berhasil melaluinya.
Beberapa wisatawan juga berujar, tertarik pada hal-hal yang masih asli, belum tersentuh, dan terpencil. Selain itu, unsur fantasi dengan membayangkan tempat atau cerita tertentu, seperti film Titanic, dapat menjadi daya tarik.
Selain batas fisik geografis, ada juga sensasi yang didapat ketika orang mendorong dirinya hingga ke batasnya dalam menghadapi ketakutannya. Terjun payung, bungee jumping, dan terjun kutub adalah contoh yang umum dilakukan.
Bahkan tak hanya wisata fisik, wisata lidah juga dengan mencicipi makanan ekstrim dapat meningkatkan sensasi tertentu dan membuat wisatawan merasa lebih hidup.
Namun, ternyata ada juga yang melakukan wisata ekstrim demi mengikuti jejak pahlawan mereka. Seperti wisatawan yang melakukan perjalanan ke Antartika untuk memberi penghormatan kepada penjelajah Ernest Shackleton.
Selain itu, wisata ekstrim tidak hanya memberikan euforia, tetapi juga memberikan sebuah status. Penelitian menunjukkan bahwa banyak wisatawan mencari pengakuan karena telah melakukan pengalaman pertama, terlama, atau paling ekstrem.
Yang perlu diingat adalah, Frontier Tourism ini bukan untuk semua orang. Biasanya hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa, seperti yang disoroti oleh keadaan tragis Titan. Para penumpang di atas kapal tersebut dilaporkan membayar 250 ribu USD atau sekitar Rp 3,7 miliar dalam pelayaran tersebut.
Apa saja dampak Frontier Tourism?
Selain memberikan kegelisahan bagi teman bahkan keluarga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ada pula dampak lain dari pariwisata ini.
Misalnya, pariwisata ini juga beresiko menimbulkan kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, setelah puluhan tahun pendakian gunung secara massal, dampak lingkungan di Gunung Everest mesti lebih diperhatikan. Dalam beberapa waktu lalu juga terlihat banyak sampah berserakan di atas Gunung Everest.
Sedangkan jika terjadi kecelakaan, biaya pencarian dan penyelamatan juga mesti dikeluarkan. Selain itu dalam operasi pencarian dan penyelamatan juga dapat beresiko kepada tim penyelamat.
Beratnya tim penyelamat didokumentasikan melalui film dokumenter Netflix, 14 Peaks. Seorang Sherpa, Nimsdai Purja, mempublikasikan persiapan di balik layar dan pekerjaan berat yang dilakukan oleh para Sherpa yang memandu dan menyelamatkan para turis di Everest dan gunung-gunung lainnya.
Wisata Ekstrim diduga tidak akan hilang
Terlepas dari tragedi seperti hilangnya kapal Titan, wisatawan diduga tetap tertarik untuk mencari pengalaman paling unik di tempat-tempat terpencil yang belum dijajaki.
Modernisasi teknologi juga membuat wisatawan merasa mampu untuk melakukan perjalanan yang dulunya dianggap terlalu berbahaya.
(wkn/wkn)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan