Belasan pemuda berpakaian ala tentara Jepang, Belanda, dan pejuang RI tampak hilir-mudik di halaman Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No 1, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Penampilan mereka dilengkapi dengan replika senapan, samurai, hingga tongkat dengan bendera merah putih di ujungnya. Wajah mereka berkilat-kilat oleh keringat. Disengat terik matahari yang sebetulnya belum menjulang.
"Mereka akan memeragakan adegan pertempuran para pejuang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang sebagai bagian dari acara Tapak Tilas Proklamasi," kata Paskalius Fajar Sunandar, edukator museum.
Karena cuaca kurang bersahabat, saya memilih masuk ke dalam museum yang sejuk. Di sana puluhan murid SMKN 9 Jakarta dan Sekolah Tara Salvia, Ciputat tengah menyimak paparan dari edukator museum seputar momen perumusan naskah proklamasi, 16 Agustus 1945.
Saya pribadi lebih tertarik mengamati dan menelusuri ruangan-ruangan museum yang sebelumnya oleh masyarakat awal dikenal sebagai rumah Laksamana Maeda.
"Aslinya gedung ini milik perusahaan asuransi Belanda yang kemudian disewakan ke pihak Inggris hingga Jepang datang pada 1942," kata Fajar Sunandar.
Berdasarkan catatan pengelola museum, bangunan vila ini berdiri di atas lahan seluas 3.914 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 1.138 meter persegi.
Villa yang dibangun pada 1927-1931 ini aktenya dimiliki oleh Nederlandsche Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILMIJ), perusahaan asuransi yang berdiri di Batavia pada 1859. Setelah Kemerdekaan, NILMIJ dinasionalisasi menjadi PT Asuransi Jiwasraya.
Arsitek Johan Frederik Lodewijk Blankenberg merancang tiga kamar tidur yang masing-masing dilengkapi dengan kamar mandi. Semuanya berada di lantai dua, dengan dua tangga berdesain art deco berbahan kayu jati.
Blankenberg juga arsitek dari tiga rumah besar lainnya di sekitar Taman Surapati, yakni rumah yang kini menjadi kediaman Duta Besar Amerika Serikat, Rumah Dinas Gubernur DKI, dan rumah Tuan Koch. Khusus yang terakhir sudah lama dibongkar.
Empat vila atau rumah besar tersebut dimaksudkan untuk melengkapi bangunan kota taman yang telah didesain oleh arsitek Thomas Karsten pada 1912. Dia juga diketahui mendesain beberapa kota lainnya di Jawa seperti Bogor, Bandung, dan Malang.
"Semula Kota Taman Menteng bernama Nieuw Gondangdia. Tapi karena di kawasan ini banyak dijumpai pohon menteng (Baccaure racemose) akhirnya disebut Kota Taman Menteng atau awasan Menteng," kata Fajar Fajar Sunandar.
Dari amatan detitravel, vila yang menjadi museum ini memiliki tiga kamar tidur yang masing-masing dilengkapi dengan kamar mandi. Semuanya berada di lantai dua, dengan dua tangga berdesain art deco berbahan kayu jati.
Satu tangga berada di sudut kiri khusus untuk asisten rumah tangga. Tangga ini sedikit lebih sempit yang menghubungkan langsung antara dapur dan kamar tidur. Beda dengan tangga utama yang lebarnya sekitar 1,5 meter, menghubungkan ruang utama ke kamar tidur tamu dan kamar tidur utama.
Kamar tidur utama di sayap kanan dilengkapi kamar kerja. Dilengkapi dua jendela tinggi dan besar dan balkon, kamar kerja berukuran sekitar 4x4 meter menghadap langsung ke taman nan luas. Sekarang berbatasan langsung dengan Jalan Imam Bonjol.
Sementara kamar tidur utama berukuran sekitar 4x6 meter dilengkapi balkon dan menghadap taman seluas sekitar 200 meter persegi di bagian belakang.
"Tangga, semua pintu, jendela, dan kusen-kusennya berbahan kayu jati asli yang belum pernah diganti hingga sekarang. Perkiraan saya 80 persen bangunan ini masih asli," kata Fajar.
Begitu selesai dibangun, lanjutnya, villa ini disewakan kepada Inggris untuk menjadi semacam kantor kedutaan dan tempat tinggal pejabatnya hingga Jepang masuk pada 1942. Oleh penguasa Jepang, kata Fajar, villa ini kemudian diperuntukan bagi tempat tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda. Dia adalah kepala kantor Kaigun (penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang). Maeda dibantu oleh Sekretaris Pribadi yang merangkap Asiten Rumah Tangga Satsuki Mitshima.
Setelah Jepang takluk kepada Sekutu pada 1945 dan Indonesia merdeka, villa atau gedung ini dialihfungsikan menjadi markas tentara Inggris. Baru diserahkan setelah ada pengakuan atas kedaulatan kepada Indonesia dan kemudian dinasionalisasi di bawah kendali Departemen Keuangan.
Tapi karena sertifikatnya tetap milik Asuransi Jiwasraya, pada 1961 - 1981, villa ini disewa oleh Inggris menjadi tempat tinggal duta besarnya. Lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nugroho Notosusanto mengusulkan agar villa atau gedung bersejarah ini dijadikan sebagai museum. Sambil menunggu proses tersebut, pada 1982 gedung ini dimanfaatkan sebagai kantor pegawai Perpustakaan Indonesia.
Pada 1984 berhasil mendatangkan Satsuki Mitshima. Dialah yang banyak membantu memberikan informasi seputar kelengkapan dan berbagai ornamen yang pernah mengisi gedung ini. Khususnya ketika Sukarno-Hatta bersama Ahmad Subardjo dan kawan-kawan merumuskan naskah proklamasi pada 16 Agustus 1945.
"Tentu yang tersaji sekarang ini tidak semua orisinal tapi tata letaknya sudah seperti penjelasan ibu Satsuki," kata Fajar.
Ia mencontohkan mesin ketik yang digunakan Sayuti Melik menyalin naskah proklamasi sudah tidak bisa dilacak. Karena menurut Satsuki mesin ketik pinjaman dari pihak Jerman itu langsung dikembalikan begitu rapat selesai.
Piano sengaja dihadirkan dan diletakkan di dekat tangga utama bukan cuma karena Maeda suka memainkan piano tapi, "Naskah Proklamasi ditandatangani Sukarno - Hatta itu di atas piano," kata Fajar.
Gedung ini resmi menjadi Museum pada 24 November 1992 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Simak Video "Video: Wisata Museum Makanan Nyeleneh di Berlin, Ada Kopi Luwak Indonesia"
(jat/pin)