Rasanya tidak percaya, plafon di Museum Nasional atau Museum Gajah, sebagai museum terbesar di ASEAN dan termegah di Indonesia, rontok. Sekadar lapuk atau ada yang salah urus?
Tiga bulan lalu, detikTravel menjelajahi museum-museum di Jakarta. One day trip museum. Termasuk, Museum Nasional atau dikenal juga dengan sebutan Museum Gajah.
Museum yang ada di jantung ibu kota, tepat di seberang Monumen Nasional (Monas), itu tidak bisa tidak untuk dikunjungi. Labelnya mentereng, museum terbesar di ASEAN dan termegah di Indonesia!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Predikat itu tidak salah ketika detikTravel menatap museum itu dari luar. Fasad museum mewah berkelir putih dengan pilar yang kokoh. Ada satu patung gajah yang bukan patung biasa. Patung gajah perunggu itu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871. Selain itu, ada satu monumen karya I Nyoman Nuarta, Ku Yakin Sampai di Sana, yang selalu berhasil membetot perhatian siapapun yang lewat.
![]() |
Tiket masuknya relatif tidak mahal. detikTravel dan pengunjung lain hanya perlu membayar Rp 15.000. Durasi kunjungan tidak terbatas. Traveler bebas berada di sana sejak buka sampai museum tutup.
Setelah mengantongi tiket masuk, traveler bisa melanjutkan langkah ke tempat pameran sekitar taman arca yang sebagian besar berada di emperan. Sebuah kejutan didapati detikTravel. Ternyata, pengunjung bebas menyentuh arca itu. Faktanya, saat itu ada pengunjung yang memegang arca dan tidak ditegur. Sudah begitu, setelah diperhatikan permukaan arca-arca itu mengkilap. Tidak ada pelindung kaca buat arca itu.
Yang bikin heran lainnya, arca-arca di sana seperti ditaruh begitu saja. Tidak beraturan.
![]() |
Di bagian arca ini ada panel kecil yang berisi informasi tentang tahun hingga lokasi penemuannya juga kisah di baliknya. Apakah itu arca asli atau tiruan yang bisa diperlakukan sebagai barang yang kurang berharga karena tiada pembatas dengan para pengunjung?
Memasuki ruangan ketiga berisi koleksi kerajinan tekstil hingga keramik. Suasana lawas sangat terasa di sini karena penerangan yang terbilang seadanya dan terlihat dari beberapa etalase yang tak memiliki pencahayaan sendiri.
Dan, nyaris saja petaka itu dialami detikTravel. Saat melihat koleksi yang dipajang di dinding, tiba-tiba plafon seukuran 1x2 meter jatuh tepat di belakang penulis.
Setelah tiga pekan kemudian, saat detikTravel berkunjung kembali, plafon sudah diperbaiki dan hanya menyisakan kotoran di dinding. Foto saat kejadian yang kami kirim ke pihak museum belum ditanggapi hingga kini.
![]() |
![]() |
Dua kali berkunjung dalam tempo yang berdekatan, bisa jadi karena Jakarta sedang panas betul, air conditioner (AC) di setiap ruangan Museum Nasional tak lagi sejuk. Ruangan pun menjadi pengap.
Kurasi yang ada di Museum Gajah juga terlihat ketinggalan zaman. Cobalah traveler lihat dari pajangan dinding tentang jumlah provinsi Indonesia yang masih berjumlah 34.
Selain itu, soal yang sepele tetapi seharusnya tidak bisa diabaikan adalah tempat istirahat bagi pengunjung, terutama untuk anak-anak sekolah. Mereka harus lesehan di lantai saat beristirahat makan siang karena tempat untuk pengunjung rombongan.
Bukankah museum kerap menjadi sasaran study tour anak sekolah? Bukankah seharusnya, museum di masa kini, bisa menjadi tempat untuk nongkrong, berbincang-bincang, berkontemplasi, menjadi tempat yang menyenangkan, mendapatkan suvenir unik dan oleh-oleh, serta menjadi destinasi wisata mengasyikkan bagi pengunjungnya dan tidak perlu takut kejatuhan plafon?
Bukankah museum dengan koleksi yang bernilai tiada tara itu seharusnya bisa menghidupi operasional, pemeliharaan, dan pegawainya sendiri? Bukankah museum seharusnya bisa menjadi jujugan pengunjung untuk mencari tahu jejak peradaban sebuah negara, kota, dan aman bagi benda-benda koleksinya?
Pencurian benda koleksi, keraguan menerima repatriasi benda kuno dari Belanda-lah yang justru berkelindan di lini masa media sosial.
Sejumlah pengamat juga menilai pengelola museum, terutama Museum Nasional, mau tidak mau harus beradaptasi dengan zaman.
Museolog Universitas Indonesia Ajeng Ayu Arainikasih menjelaskan dari 439 museum di Indonesia, sejumlah museum belum dikelola secara maksimal. Museum-museum ini masih berorientasi pada pameran koleksi dengan mempertahankan konsep layaknya zaman kolonial.
"Museum yang ada di kita sekarang itu ketinggalan 80 tahun. Jadi samalah, sama kira-kira konsepnya seperti museum zaman kolonial," kata Ajeng.
Koordinator Komunikasi, Kemitraan, Program, dan Pengembangan Bisnis Museum Cagar Budaya (MCB) Titik Umi Kurniawati, menyebut telah berupaya maksimal menyuguhkan yang terbaik buat pengunjung.
"Mungkin kalau untuk yang tadi disampaikan ada platform jatuh dan sebagainya mungkin itu kan pengelola museum itu ada bidangnya masing-masing ya," kata Titik.
"Nah, mungkin itu lebih lanjut nanti bisa akan kami sampaikan ke yang lebih pantas untuk memberikan informasi. Memang tidak semua pengelola museum itu harus bisa menjawab. Apalagi hal-hal seperti itu kan memang terkait dengan pemeliharaan ya, mungkin itu. Tapi tetap kami berusaha untuk menjadikan yang terbaik lah ya untuk melayani masyarakat," dia menambahkan.
***
detikTravel menyuguhkan liputan mendalam tentang museum dan pengelolaannya di bulan Agustus ini. Artikel berseri tayang setiap hari.
(msl/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol