78 Tahun Indonesia Merdeka tapi Konsep Museum Masih di Zaman Kolonial

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

78 Tahun Indonesia Merdeka tapi Konsep Museum Masih di Zaman Kolonial

Putu Intan - detikTravel
Senin, 21 Agu 2023 05:02 WIB
Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah sudah dibuka kembali, Sabtu (20/6/2020). Protokol kesehatan sangat ketat diberlakukan.
Ilustrasi museum. Foto: Tripa Ramadhan
Jakarta -

Di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia, rupanya belum semua aspek mengalami kemajuan. Salah satunya museum yang konsepnya masih terjebak di zaman kolonial.

Museolog Universitas Indonesia Ajeng Ayu Arainikasih menjelaskan dari 439 museum di Indonesia, sejumlah museum belum dikelola secara maksimal. Museum-museum ini masih berorientasi pada pameran koleksi dengan mempertahankan konsep layaknya zaman kolonial.

"Museum yang ada di kita sekarang itu ketinggalan 80 tahun. Jadi samalah, sama kira-kira konsepnya seperti museum zaman kolonial," kata Ajeng.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Museum zaman kolonial umumnya memamerkan koleksi yang didapatkan dari sebuah peradaban yang dianggap eksotis. Koleksi itu kemudian dinarasikan sebagai barang-barang yang berasal dari bangsa yang kedudukannya di bawah pelaku kolonialisme.

"Kita secara nggak sadar masih banyak begitu (mempertahankan pandangan kolonial). Pemakaian kata pribumi, non pribumi," ujarnya.

ADVERTISEMENT

"Kalau untuk urusan museum provinsi, kalau kita lihat dari cara display etnografinya, misalnya museum di Sumatera Utara hanya tentang orang Batak. Ada Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandiling, tapi mana ada Cina Batak, Cina Medan atau orang Jawa yang sudah lama ada di sana tapi tidak keluar dalam koleksi etnografinya," dia menambahkan.

Menurut Ajeng, warisan kolonial ini masih melekat di museum yang ada di Indonesia. Padahal, museum dapat membuat narasi baru yang mengakomodasi kesetaraan.

"Zaman kolonial mereka memetakan siapa sih etnisitas yang ada di daerah koloninya. Jadi mix culture itu nggak direkam. Itu masih terus terbawa sampai sekarang tanpa kita sadari. Padahal budaya tidak berhenti sampai di situ," ujar dia.

Menurut Ajeng, pengelola museum harus berani membuat perubahan demi kemajuan museum itu sendiri. Langkah pertama dimulai dari perbaikan sumber daya manusia (SDM).

"Harus berani membuat perubahan untuk berkembang sesuai dengan zaman. Nggak cuma ngikut doang tapi seharusnya tahu masalahnya apa dan penyelesaiannya bagaimana," katanya.

Selanjutnya, Ajeng juga mendorong museum untuk membuat pameran dan program yang menarik. Kedua aspek ini menjadi wajah museum yang dapat membuat pengunjung terkesan.

"Paling keren (museum) zaman tahun 70-an. Pada masanya, museum seperti itu, terus habis itu nggak berubah. Bukan berarti dananya tidak ada. Dananya sudah ada tapi lagi-lagi masih pasif. Display yang dilakukan nggak bikin kita engage sama pameran," dia menegaskan.

Dari pengalaman detikTravel mengunjungi museum, termasuk museum termegah dan terbesar di Asia Tenggara, Museum Nasional, gedungnya memang megah, tetapi penataan koleksi dan fasilitasnya kurang oke.

Dua kali berkunjung dalam tempo yang berdekatan di Museum nasional yang ada di jantung ibu kota, bisa jadi karena Jakarta sedang panas betul, tetapi sangat terasa air conditioner (AC) di setiap ruangan Museum Nasional tak lagi sejuk. Ruangan pun menjadi pengap.

Sejumlah hal soal koleksi juga amat mengganggu, di antaranya, permukaan arca yang mengkilap karena terlalu sering disentuh pengunjung, penataan yang seolah ditaruh begitu saja, juga pajangan dinding tentang jumlah provinsi Indonesia yang masih berjumlah 34.

Selain itu, soal yang sepele tetapi seharusnya tidak bisa diabaikan adalah tempat istirahat bagi pengunjung, terutama untuk anak-anak sekolah. Mereka harus lesehan di lantai saat beristirahat makan siang karena tempat untuk pengunjung rombongan.

Bahkan, baru-baru ini, plafon di salah satu Museum Nasional ambrol saat jam buka. Nyaris saja plafon itu menimpa pengunjung.

Koordinator Komunikasi, Kemitraan, Program, dan Pengembangan Bisnis Museum Cagar Budaya (MCB) Titik Umi Kurniawati, menyebut telah berupaya maksimal menyuguhkan yang terbaik buat pengunjung.

"Nah, mungkin itu lebih lanjut nanti bisa akan kami sampaikan ke yang lebih pantas untuk memberikan informasi. Memang tidak semua pengelola museum itu harus bisa menjawab. Apalagi hal-hal seperti itu kan memang terkait dengan pemeliharaan ya, mungkin itu. Tapi tetap kami berusaha untuk menjadikan yang terbaik lah ya untuk melayani masyarakat," kata Titik.

****

detikTravel menyuguhkan liputan mendalam tentang museum dan pengelolaannya di bulan Agustus ini. Artikel berseri tayang setiap hari.




(pin/fem)

Travel Highlights
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikTravel
Museum RI: Megah dari Luar, Lawas di Dalam
Museum RI: Megah dari Luar, Lawas di Dalam
20 Konten
Sekilas, Museum Nasional Indonesia atau Museum Gajah begitu megah dari luar meski dari bangunan lawas. Namun, kualitas SDM permuseuman jadi kendala dan berdampak pada pengelolaan di sana.
Artikel Selanjutnya
Hide Ads