Jepang telah melepaskan air limbah nuklir ke laut. Terbaru, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida makan ikan mentah yang diklaim diambil dari perairan Fukushima.
Ia tampak menikmati sajian sashimi itu. Video itu terlihat menarik karena ada perselisihan mengenai pembuangan air limbah radioaktif yang telah diolah ke laut dari krisis nuklir Fukushima pada tahun 2011.
"Ikan dari Fukushima sangat lezat," kata dia dalam sebuah video yang dirilis oleh pemerintah Jepang dikutip dari BBC, Kamis (31/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Regulator energi atom PBB mengatakan pembuangan air yang disaring ke Samudera Pasifik adalah aman. Dampaknya "dapat diabaikan" terhadap manusia dan lingkungan.
Namun, China sebagai pembeli utama ikan Jepang, pada hari Kamis mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan larangan total terhadap produk makanan lautnya. Itu disebabkan kekhawatiran terhadap kesehatan konsumen.
![]() |
Dampak pelepasan limbah air nuklir ke Indonesia
Pelepasan satu juta ton air radioaktif tersebut dimulai sejak Kamis (24/8/2023) pukul 13.00 waktu setempat. Pelepasan ini menuai banyak reaksi, banyak pihak khawatir akan dampaknya terhadap laut dan lingkungan sekitarnya.
Menanggapi hal tersebut, peneliti senior bidang nuklir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot Sulistio, mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir akan potensi bahaya yang dapat muncul dari pelepasan air olahan bekas PLTN Fukushima.
"Indonesia saya kira tidak perlu khawatir. Karena kita punya sistem untuk mengecek apakah ini oke atau tidak, apakah ikan atau produk-produk laut dari sekitar Fukushima itu ada kontaminasi atau tidak," ungkap Djarot kepada BBC News Indonesia.
Sebab, air itu sudah diolah hingga tinggal bahan yang disebut tritium, yakni zat isotop hidrogen yang dinilai tidak berbahaya bagi manusia jika kadar tritium tidak melebihi batas wajar. Bahkan, sudah disetujui oleh lembaga internasional IAEA.
"Kalau saya dari sisi sains, itu tidak ada masalah. Tidak perlu dikhawatirkan... Sebenarnya masyarakat internasional, terutama negara-negara yang punya PLTN itu sudah biasa tiap kali melepas tritium ke sungai, danau atau laut tergantung PLTN tersebut berada di mana, selama itu konsentrasinya rendah," ujar Djarot.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa komunitas internasional tentu harus terus memonitor kelangsungan proses pelepasan air yang akan memakan waktu hingga 30 tahun. Baik dari sisi teknis maupun pengawasan dampak radiasi pada produk yang dikonsumsi.
(msl/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol