Viral Aksi Kawin Paksa di Sumba, Ini Fakta dan Kontroversinya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Viral Aksi Kawin Paksa di Sumba, Ini Fakta dan Kontroversinya

Tim detikcom - detikTravel
Sabtu, 09 Sep 2023 21:20 WIB
Tangkapan layar video viral aksi kawin tangkap di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Foto: Tangkapan layar video viral aksi kawin tangkap di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. (Istimewa)
Jakarta -

Sebuah video viral beredar di media sosial. Dalam video itu seorang wanita diculik secara adat lalu dibawa kabur dengan pikap.

Adalah kawin tangkap atau kawin paksa, sebuah tradisi viral yang terjadi di Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Wanita itu 'diculik' pada Kamis (7/9).

Dalam beberapa tahun terakhir, kawin tangkap Sumba telah menuai kontroversi. Nilai tradisi telah mengarah pada penculikan perempuan, pelanggaran hak-hak perempuan dan pelanggaran HAM.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tradisi ini, seorang perempuan 'diculik' dan 'dipaksa' menikah dengan alasan yang 'dilegalkan' secara budaya. Padahal, belum tentu wanita tersebut mau menikah dengan pria tersebut, atau bisa juga dihalangi oleh persyaratan adat lainnya, namun pihak pria ngotot untuk menikahinya.

Melansir berbagai sumber, rangkuman latar belakang dan sederet kontroversi kawin tangkap dari Tanah Marapu tersebut.

ADVERTISEMENT

Latar Belakang Kawin Tangkap

Kawin tangkap merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat pedalaman Sumba yaitu di Kodi dan Wawewa, yang merupakan tradisi dari nenek moyang secara turun-temurun.

Dalam tradisi lama masyarakat Sumba, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang terhalang belis atau mahar tinggi dari pihak perempuan.

Kawin tangkap merupakan kategori perkawinan tanpa peminangan yang terjadi karena belum ada kesepakatan keluarga mengenai jumlah belis atau mas kawin.

Mulanya, dalam tradisi ini, seorang perempuan sudah didandani. Calon mempelai pria juga sudah didandani dengan pakaian adat dan menunggangi seekor kuda.

Perempuan itu lantas ditangkap, lalu dibawa ke rumah keluarga pria. Tradisi ini unik, karena menyangkut nama baik kedua keluarga, apalagi dengan latar keluarga berada.

"Setelah ditangkap, pihak laki-laki akan membawa sebuah parang dan seekor kuda kepada pihak perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan sudah ada di rumah pihak laki-laki," seperti ditulis Rahmadira dalam salah satu penelitian pada 2020.

Seiring perkembangan zaman, kawin tangkap yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur awal yang sesuai dengan tradisi.

Akhir-akhir ini, tradisi ini melenceng dan merugikan seorang perempuan secara pribadi. Kawin tangkap akhir-akhir ini seakan membuat perempuan merasa seperti diculik, disiksa, dilecehkan, bahkan merasa hina dan tidak berharga.

Kawin Tangkap dalam Prespektif Hukum

Dilansir dari "Jurnal Hukum Dian Kemala Dewi tahun 2022", dalam perspektif hukum, kawin tangkap, tradisi suku Sumba ini merupakan kejahatan manusia yang dilakukan secara paksa dan mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Praktik budaya ini juga disebut sangat merugikan hak konstitusional seorang perempuan dan tentunya melanggar HAM.

Kawin tangkap ini tentunya melanggar hukum yang berlaku sebagai kasus penculikan dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 328 KUHP dengan pidana paling lama dua belas tahun. Peristiwa ini juga tidak sesuai dengan syarat perkawinan UU RI No 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 dimana perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kawin Tangkap:

  • Ekonomi terkait hutang pihak perempuan,
  • Strata sosial yang tinggi dari pihak laki-laki (bangsawan)
    Pendidikan yang tinggi
  • Kepercayaan Marapu yang merupakan kepercayaan asli orang sumba, di mana dengan mereka melakukan kawin tangkap, maka mereka menghormati roh leluhur yang menentukan hidup mereka dengan adanya perlindungan dan ketentraman dari nenek moyang.

Tradisi kawin tangkap ini merupakan pelanggaran terhadap HAM dan juga menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi kaum perempuan di Sumba. Dengan perkembangan zaman dan praktik kawin tangkap yang dilakukan sudah tidak sesuai dengan adat tradisi secara turun temurun.

Saat ini pemerintah berupaya mengakhiri praktik ini dan melindungi hak-hak perempuan. Namun pada kenyataannya, tradisi ini masih saja dilakukan dengan kedok adat istiadat dan tradisi budaya.

***

Baca berita selengkapnya di sini.




(bnl/bnl)

Hide Ads