Jarang terdengar namanya, belalang ranting merupakan spesies belalang yang eksis di Papua. Dia pandai berkamuflase untuk mengelabui pemangsa.
Pengalaman bertemu belalang ranting saya dapatkan ketika mengunjungi Situs Megalitik Tutari. Situs ini merupakan destinasi wisata yang mudah diakses. Letaknya hanya 15 menit dari Bandara Sentani, Jayapura, Papua.
Situs ini berada di Bukit Tutari yang terletak di tepi Danau Sentani bagian barat. Pada permukaan lereng Bukit Tutari, terdapat peninggalan megalitik berupa batu bergambar dan pada puncak bukit terdapat menhir.
Situs ini sangat indah bila difoto karena berada pada ketinggian. Ketika dipotret, traveler akan mendapatkan latar belakang Danau Sentani yang apik.
Selain itu, pada lereng Bukit Tutari juga banyak ditumbuhi pohon-pohon kayu putih, yang dapat menjadi tempat berteduh traveler dari teriknya sinar mata hari.
Ternyata situs ini memiliki fauna unik yaitu belalang ranting (stick insect). Hingga saat ini di wilayah Indonesia, belalang ranting hanya ditemukan di hutan tropis Kalimantan dan Pulau Komodo.
Belalang ranting yang dijumpai di Situs Megalitik Tutari berwarna putih menyerupai ranting pohon kayu putih, ada juga belalang ranting yang berwarna hijau menyerupai daun.
Warna ini sebagai bentuk kamuflase, untuk menghindari serangan pemangsa. Belalang ranting ini memakan daun-daun pohon kayu putih.
Belalang ranting bertubuh bulat memanjang seperti ranting dan memiliki kaki yang ramping memanjang. Belalang ranting dewasa memiliki panjang tubuh maksimal mencapai 20 sentimeter.
Mereka sering bergantungan pada ranting tanaman kayu putih. Jika mereka disentuh akan menjatuhkan diri, berdiam dan berkamuflase seperti ranting.
Karena pintar berkamuflase, jika beruntung, traveler dapat menjumpai belalang ranting di Situs Megalitik Tutari.
Walaupun hingga saat ini, belalang ranting tidak masuk dalam list binatang langka di Indonesia, keberadaan belalang ranting di Situs Megalitik Tutari harus tetap dijaga.
Artikel ini merupakan kiriman dari Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, Hari Suroto, yang penulisannya telah disesuaikan.
Simak Video "WWF Nilai Hukuman Penjara untuk Pemburu Liar Masih Terlalu Rendah"
(pin/fem)