Jarak Gaza, Palestina, dan Chile berjarak 13.000 km. Tetapi rupanya, hampir setengah juta warga Palestina bermukim di Benua Amerika Selatan itu.
Sejak pecahnya pertikaian Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023, warga dunia mengadakan berbagai aksi unjuk rasa, termasuk di ibu kota Chile, Santiago. Sambil mengenakan kufiya syal tradisional dari Palestina pengunjuk rasa berjalan melalui ibukota, Santiago, pada Sabtu (4/11).
Mereka membawa poster dan spanduk bertuliskan frasa-frasa seperti "Mereka ingin mengubur kami, tetapi mereka tidak tahu kami adalah benih" atau "Ini bukan perang, ini genosida". Ya, warga Chile-Palestina merasa terhubung dengan krisis itu secara emosional karena mereka memiliki kerabat yang tinggal di Jalur Gaza atau di sekitarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, mereka berusaha untuk mempertahankan kontak dengan keluarga mereka di tengah pemutusan internet dan jaringan komunikasi yang dilakukan Israel.
Duta Besar Palestina untuk negara Amerika Selatan, Vera Baboun, menjelaskan bahwa "secara historis, komunitas Palestina di Chile telah berkomitmen untuk menolak semua kekejaman yang dialami bangsa Palestina."
Fenomena migrasi warga Palestina ke Chile itu bisa ditengok dengan kilas balik akhir abad ke-19.
Kemunduran Kekaisaran Otoman
Wilayah Palestina, yang berada di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania, dianggap sebagai tanah suci bagi umat Islam, Yahudi, dan Kristen. Tanah itu berada di bawah kuasa Kekaisaran Ottoman pada masa yang menegangkan itu.
"Kepergian warga Palestina, Suriah, dan Libanon terjadi di tengah krisis ekonomi, kemunduran Kekaisaran Ottoman, dan penindasan gerakan nasionalis Arab pertama di daerah itu," kata Ricardo Marzuca, seorang akademisi di Pusat Studi Arab Universitas Chile, kepada BBC Mundo dalam sebuah wawancara pada 2021.
Bagi komunitas itu, seperti kebanyakan komunitas lainnya, Benua Amerika dipandang sebagai "dunia baru" yang penuh peluang. Begitu banyak pemuda Palestina melakukan perjalanan ke Eropa melalui darat, kemudian melanjutkan lewat laut ke Buenos Aires di Argentina.
Tetapi alih-alih tinggal di ibu kota Argentina, yang lebih kaya dan lebih mirip Eropa, beberapa lebih memilih untuk menyeberangi Pegunungan Andes dan melanjutkan ke Chile, mungkin tertarik dengan tujuan yang lebih asing.
Mulai 1885 hingga 1940, terdapat sekitar 8.000 dan 10.000 orang Arab yang menetap di Chile, berdasarkan buku "The Arab World and Latin America (Dunia Arab dan Amerika Latin)", oleh Lorenzo Agar Corbinosla.
Setengah dari mereka adalah warga Palestina, yang mayoritas berasal dari tiga kota: Betlehem, Beit Jala, dan Beit Sahour.
Peristiwa Nakba
Gelombang migrasi lainnya terjadi lagi. Beberapa di antaranya berlangsung setelah Perang Dunia I, ketika jatuhnya Kekaisaran Ottoman, dan setelah Perang Dunia II ketika Israel dibentuk pada 14 Mei 1948.
Berdirinya negara Israel memiliki makna tersendiri untuk Palestina, yakni Nakba atau "bencana" yang merupakan awal dari tragedi nasional.
Saat itulah sekitar 750.000 warga Palestina melarikan diri ke negara lain atau diusir oleh pasukan Yahudi.
Seperti negara-negara muda lainnya, Chile membutuhkan imigran-imigran untuk memperkuat ekonominya dan mengisi wilayahnya.
Kaum elite Chile biasanya lebih menyukai orang Eropa, yang ditawari tanah dan hak sejak awal abad ke-19, tetapi banyak orang Palestina dan Arab lainnya juga mengambil keuntungan dari dorongan itu.
"Ada semacam efek berantai, ketika kelompok-kelompok tertentu tiba di Chile dan membawa kerabat mereka," kata Marzuca.
"Sejumlah faktor membuat permukimannya diminati: iklim, karena ada kesamaan antara wilayah Palestina dan Chile. Kemudian, kebebasan, sesuatu yang sangat dirindukan setelah penindasan Kekaisaran Ottoman dan kemudian penindasan mandat Inggris; serta kemakmuran ekonomi," dia menambahkan.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!