Kamboja melakukan segala cara untuk meningkatkan pariwisata di Wat Angkor. Upaya tersebut ternyata tak lebih dari penggusuran lahan warga secara paksa.
Dilansir dari Euro News pada Selasa (21/11), warga yang tinggal di sekitar situs Angkor Wat melayangkan protes pada UNESCO atas penggusuran massal yang dilakukan pemerintah Kamboja.
Saat pandemi, Pemerintah Kamboja berupaya meningkatkan pariwisata dengan penggusuran lahan sebagai upaya mencegah kerusakan pada kuil kuno tersebut. Penduduk sekitar dijanjikan tempat yang lebih baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kenyataan berkata lain. Penduduk yang digusur hanya menerima sedikit uang atau tidak ada kompensasi sama sekali. Kemudian, dua lokasi pemukiman yang jadi pilihan tidak memiliki fasilitas memadai seperti jalan, pasokan air, listrik dan sanitasi.
Melalui kelompok hak asasi manusia Amnesty Internasional, sebuah laporan mengklaim bahwa penggusuran yang dilakukan oleh otoritas Kamboja melanggar hukum internasional dan nasional.
Amnesty mengatakan UNESCO harus mengambil sikap menentang tindakan pemerintah. UNESCO juga disebut gagal memenuhi kewajibannya untuk campur tangan dan mendukung hak asasi manusia atas penggusuran itu.
Tak berdiam diri, UNESCO memberikan jawaban atas kegelisahan yang disampaikan oleh warga Wat Angkor. Sayangnya, jawaban itu tidak memuaskan.
"UNESCO tidak memiliki kemampuan untuk menegakkan penerapan standar berbasis hal dan rekomendasi kebijakan karena peran kami lebih terfokus pada saran dan kebijakan, peningkatan kapasitas dan advokasi," ujar UNESCO dalam laporan.
Menurut catatan sejarah, Angkor Wat dijadikan status Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1992. UNESCO sempat khawatir bahwa pertumbuhan pemukiman manusia di situs itu dapat mengancam pelestariannya.
Awalnya pemerintah Kamboja melakukan penggusuran tidak mengganggu. Namun sekarang penggusuran makin tak manusiawi.
"Pihak berwenang Kamboja dengan kejam menggusur keluarga-keluarga yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi, memaksa mereka hidup berdampingan di tempat relokasi yang tidak dipersiapkan dengan baik," kata Montse Ferrer, wakil direktur regional sementara untuk penelitian di Amnesty.
Penggusuran berdampak pada perekonomian warga. Kebanyakan mereka berdagang dan menjual jasa di bidang pariwisata. Sebagian warga mencari nafkah dengan bertani, tapi pemukiman relokasi yang disiapkan lagi-lagi belum siap digunakan untuk pertanian.
"Tidak seorang pun ingin meninggalkan rumahnya," ucap seorang warga perempuan yang telah tinggal di sana selama lebih dari70 tahun.
Dari 100 penduduk yang diwawancarai, hampir semua menggambarkan penggusuran dengan kejam. Mereka ditekan, diintimidasi, dilecehkan, diancam dan dipaksa pindah dengan tindakan kekerasan.
Tahun lalu, Perdana Menteri Hun Sen memberikan menyebut usaha pemerintah untuk mempertahankan status Wat Angkor. Dalam pidatornya ia menyebut bahwa situs itu berisiko kehilangan haknya kecuali warga sekitar dipaksa pindah. Penduduk yang tidak melakukan hal itu secara sukarela tidak akan mendapat kompensasi, ancamnya.
Kini penduduk sekitar Angkor Wat hanya bisa pasrah. Janji manis yang diberikan pemerintah hanya tinggal buaian belaka.
(bnl/wsw)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol