Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali menyambut positif ditundanya kenaikan pajak hiburan 40%. Namun mereka tetap ngotot, spa tidak masuk ke hiburan.
Ketua PHRI Bali Tjok Oka Artha Ardana Sukawati mengaku akan tetap mengawal peninjauan kembali terkait kenaikan pajak hiburan tersebut. Menurutnya, usaha spa yang berkembang di Bali lebih mengarah ke bidang kesehatan, dibandingkan masuk ke kategori hiburan.
"Agar spa ini bisa keluar dari kelompok hiburan, kembali ke jati dirinya," kata pria yang akrab disapa Cok Ace itu saat ditemui di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Sabtu (20/1) akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cok Ace mengapresiasi penundaan penerapan pajak hiburan 40-75% tersebut. Menurutnya, para pengusaha hiburan di Bali keberatan dengan nominal pajak yang dinilai terlalu tinggi.
"Kalau kami lihat dari aturan hukumnya sebenarnya Januari sudah diterapkan 40%. Astungkara, ini ditunda. Tapi, kami harapkan ini permanen dan sifatnya tetap," imbuh Cok Ace.
Mantan wakil gubernur Bali itu mengungkapkan, hingga kini baru Kabupaten Badung yang berencana mematok tarif pajak hiburan 15%. Ia menegaskan kepala daerah masing-masing kabupaten/kota berhak mengatur keringanan pajak untuk usaha hiburan.
"Kebijakannya ada di bupati dan wali kota," imbuhnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), pajak hiburan dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dan dibayarkan oleh konsumen atas barang/jasa tertentu (PBJT).
Adapun, usaha spa turut digolongkan ke dalam kategori hiburan dan dikenakan pajak minimal 40% dan maksimal 75%. Sejumlah pengusaha hiburan di Bali keberatan atas penerapan pajak hiburan sebesar 40-75% tersebut.
-----
Artikel ini telah naik di detikBali.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Sepi, Waktu Tempuh 1,5 Jam dari Bandung Jadi Biang Kerok?
Foto: Aksi Wulan Guritno Main Jetski di Danau Toba