Kelompok Ini Minta Pergub Arak Bali Dicabut, Hanya Untungkan Industri Besar

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kelompok Ini Minta Pergub Arak Bali Dicabut, Hanya Untungkan Industri Besar

Aryo Mahendro - detikTravel
Minggu, 28 Jan 2024 21:03 WIB
Petugas menata produk arak Bali yang dipamerkan saat perayaan Hari Arak Bali di Bali Collection, Nusa Dua, Badung, Bali, Minggu (29/1/2023). Kegiatan tersebut digelar dalam upaya memperkokoh perlindungan dan pemberdayaan arak Bali sesuai Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata kelola minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali sebagai tonggak perubahan status yang mengangkat keberadaan, nilai, dan harkat arak Bali yang bertujuan melindungi dan memelihara arak sesuai dengan nilai-nilai budaya serta memberdayakan, memasarkan, dan memanfaatkan minuman tersebut sebagai ekonomi rakyat yang berkelanjutan. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/tom.
Arak Bali (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Jakarta -

Kelompok ini menolak pelaksanaan Hari Arak Bali. Mereka juga menyebut bahwa industrinya belum menyejahterakan pengusaha kecil.

Adalah Paiketan Krama Bali (PKB) yang menolak Hari Arak Bali diperingati setiap 29 Januari. Mereka juga mendesak agar Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur produksi dan peredaran arak Bali dicabut.

"Pergubnya harus betul-betul ditegakkan. Kalau memang tidak mampu menegakkan ya cabut saja Pergub itu," kata Ketua Umum PKB Wayan Jondra kepada detikBali, Minggu (28/1/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasan Jondra meminta Pergub itu dicabut jika tidak diimplementasikan dengan benar karena kesejahteraan petani arak di Bali yang tidak berubah. Dia mengeklaim Pergub itu justru menguntungkan industri besar yang membeli arak dari petani dengan harga murah.

Ketika membeli arak dari petani dengan harga rendah, industri besar justru mendapat untung yang lebih banyak. Jondra mengatakan, industri besar membeli arak dari petani di kisaran harga Rp 14 ribu. Kemudian, dilabeli dan dipasarkan dengan harga yang 10 kali lipat lebih tinggi.

ADVERTISEMENT

"Petani yang membuat arak destilasi ini tetap saja tidak mendapat faedah. Tapi pabrik-pabrik besar yang beli dari petani ini kerjanya hanya melabeli dan mengeluarkan izin. Beli dari petani, Rp 8.000 sampai Rp 14 ribu, dijualnya sampai Rp 150 ribu," jelas Jondra.

Alasan kedua, soal peredaran atau distribusi arak di Bali. Jondra mengkritik Pemerintah Provinsi Bali yang tidak pernah serius membatasi peredaran arak Bali sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurutnya, penjualan arak di Bali seharusnya hanya boleh dilakukan oleh distributor besar, restoran, dan hotel yang memiliki izin peredaran minuman keras. Tapi, Jondra mengaku melihat banyak warung di Bali yang menjual arak.

Baca artikel selengkapnya di detikbali




(msl/msl)

Hide Ads