Budaya Makan Daging Anjing Dipermasalahkan, Aktivis: Budaya Itu Dinamis

Weka Kanaka - detikTravel
Kamis, 01 Feb 2024 05:35 WIB
Tempat ekseskusi dan penjualan daging anjing di Sukabumi, Jawa Barat. (Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Jakarta -

Konsumsi daging anjing di Solo disebut telah ada sejak ratusan tahun dan mengakar menjadi budaya. Namun, aktivis menyebut budaya seharusnya dinamis dan mengikuti perkembangan zaman.

Konsumsi daging anjing di sebagian daerah di Indonesia masih banyak terjadi. Salah satunya Solo, yang disebut menjadi budaya yang telah ada sejak ratusan tahun.

Beberapa warung daging anjing di Solo dilabeli sebagai sengsu (tongseng asu), rica-rica gukguk, atau sempat juga dinamai 'Sate Jamu'. Olahannya meliputi sate, rica-rica, tongseng, dan sebagainya.

Penikmat olahan daging anjing ini pun masih ada hingga kini. Banyak penjual maupun penikmat yang beranggapan bahwa daging tersebut memiliki beragam khasiat, mulai dari meningkatkan vitalitas pria, hingga dapat menghilangkan berbagai penyakit seperti asma, hingga lemah lesu.

Para penjaja olahan daging anjing pun telah ada sejak lama. Misalnya di Solo, terdapat pedagang yang mengklaim telah berjualan olahan ini selama tiga generasi.

"Kami ingin tetap jualan daging anjing, karena sudah lebih dari tiga generasi, dan ada pasarnya. Kalau kita beralih ya kesulitan," terang Paguyuban Kuliner Solo Guk-guk Bersatu, Agus Triyono, dikutip dari detikJateng, Rabu (31/1/2024).

Lebih jauh, menurut sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, keakraban warga Solo dengan daging anjing mengakar lama sejak kedatangan bangsa Belanda di tanah Jawa. Anjing tersebut dibawa bangsa Eropa di penghujung akhir abad ke-19.

"Anjing menjadi santapan warga di beberapa tempat. Anjing merupakan binatang tak bertuan di kawasan Asia Tenggara," ujar Heri, dikutip dari CNN Indonesia.

Bahkan, tradisi mengkonsumsi daging anjing itu juga telah tertuang cukup lama dalam surat kabar pertama berbahasa Jawa, Bromartani edisi 25 Agustus 1881. Dalam laporan tersebut, aktivitas mengkonsumsi daging anjing mengiringi aktivitas mabuk-mabukan yang dilakukan masyarakat Tionghoa era itu.

"Pada akhir 1800 tradisi dan budaya mabuk-mabukan mewabah di Surakarta. Tradisi itu dipadu dengan tambul (menyemil) daging dan tulang anjing yang dimasak di dapur," sambung Heri yang juga penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo tersebut.

Berdasarkan laporan Bromartani, Heri menjelaskan, keberadaan Tionghoa yang membawa kebiasaan mabuk dan makan anjing mendapat restu dari kerajaan Solo.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Animal Defenders Indonesia, Doni Herdaru Tona, mendorong pemerintah Solo untuk menghentikan aktivitas perdagangan anjing. Itu ia ajukan berdasarkan aspek kesehatan dan juga legalitas diperolehnya daging.

"Kota Solo sendiri itu sudah mempunyai dua landasan hukum untuk menindak perdagangan daging anjing atau daging apapun yang berangkat dari pasar gelap dan tidak pernah dipantau kesehatannya dan ada aturan terkait daging tersebut," terangnya saat dihubungi detikTravel, Selasa (30/1/2024).

"Yang pertama Perda Surakarta Nomor 9 tahun 2015 tentang kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Dan peraturan Wali Kota nomor 4 tahun 2019 tentang penjaminan higiene dan sanitasi produk hewan," sambungnya.

Hal itu ia sampaikan lantaran daging anjing sendiri belum teruji memiliki khasiat seperti yang selama ini dipercaya banyak orang. Di sisi lain, ia mengklaim bahwa suplai daging anjing yang banyak dikonsumsi didapatkan dari aktivitas ilegal.

"Adanya pelanggaran undang-undang, daging anjing berasal dari anjing-anjing yang banyak dihasilkan dari dicuri, berpemilik. Ini adalah sindikat pidana. Ada pencurinya, ada penadahnya, ada yang mendistribusikan, ada yang menjual," klaimnya.

Aktivis Sebut Budaya Ini Mesti Ditinggalkan

Menanggapi konsumsi daging anjing yang masih marak di Solo dan telah menjadi budaya, ia menyebut bahwa masyarakat seharusnya meninggalkan budaya yang sudah semestinya ditinggalkan.

"Kita ingat bahwa dulu ada budaya di Kalimantan, Ngayau gitu ya, memotong kepala pria lain untuk dibawa sebagai semacam mas kawin untuk menikahi seorang gadis. Apakah budaya ini masih berlangsung? Tidak, ini dihapuskan oleh kolonial Belanda, dan bukan budaya yang harus dipertahankan maka harus berubah," ucapnya.

Ia juga menyebut budaya adalah hal yang dinamis dan adaptif dan mesti mengikuti perkembangan zaman.

"Jangan sampai kita mempertahankan nilai-nilai budaya yang keliru, nilai budaya yang kurang tepat dengan kemajuan zaman. Budaya yang adaptif, budaya yang mengikuti perkembangan zaman itu tentunya budaya-budaya yang dapat dipertahankan dan kita ambil bagusnya, sesuatu yang kurang baik tentunya kita harus tinggalkan. Begitu juga kebiasaan makan daging anjing," sambungnya.

Di sisi lain, alih-alih menyebutnya sebagai budaya, ia menyebut mengonsumsi daging anjing sebagai kebiasaan. Itu karena ia menyebut tidak ada budaya memakan daging anjing yang telah mengakar lama di masyarakat Indonesia.



Simak Video "Video: MUI soal Baleg Tolak Usul RUU Larangan Perdagangan Anjing-Kucing"

(wkn/wsw)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork