Tak hanya dikenal sebagai lumbung padi, sejak dulu Karawang juga dikenal sebagai daerah paling toleran bagi umat beragama dari berbagai etnis selama berabad-abad.
Amsah, warga Cilamaya yang merupakan umat muslim, namun rutin merayakan Imlek dari tahun ke tahun bersama keluarganya, hanya salah satu contoh kecilnya saja.
Salah satu tokoh Buddha, sekaligus aktivis prularisme nasional dari Karawang, Nyana Wangsa mengakui, jika Karawang memang tempat tinggal yang nyaman bagi umat berbagai agama.
"Kalau berbicara Karawang ini merupakan tempat tinggal yang nyaman dari kalangan umat beragama sejak dahulu yah. Bahkan juga berperan penting dalam peristiwa kemerdekaan Indonesia," ujar Nyana Wangsa saat ditemui di Klenteng Bio Kwan Tee Koen, Jalan Tuparev Karawang, akhir pekan lalu.
Nyana menjelaskan, semua masyarakat Indonesia tahu, bahwa buku sejarah menjelaskan peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok menjelang kemerdekaan.
"Peristiwa penculikan itu terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945, kita tahu Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok dan singgah di rumah tokoh Tionghoa yaitu Djiaw Kie Song," kata dia.
Hal itu juga membuktikan bahwa masyarakat Karawang telah hidup rukun sejak masa lampau, meskipun berbeda etnis dan budaya. Bahkan ketika ditinjau lebih jauh, kebudayaan Tiongkok juga lekat di Karawang, sebab punya peristiwa sejarah yang panjang.
"Kebudayaan Tiongkok itu sangat lekat di Karawang itu kita tahu ada Vihara Sian Jin Kupoh, itu dibangun Laksamana Ceng Ho, padahal beliau Kaisar pelaut muslim zaman Dinasti Ming, sekitar tahun 1405 beliau sampai di Nusantara di Karawang," imbuhnya.
Pada masa Orde Baru indeks kerukunan beragama di Karawang merupakan yang tertinggi di Indonesia, bahkan hingga kini masih terhitung yang paling tinggi.
"Tahun 1984 sampai 1998 saya kebetulan ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) religiosity index (indeks kerukunan beragama) waktu itu mencapai 92 persen, bahkan pada saat kerusuhan tahun 1998 di setiap daerah terjadi penjaran, Karawang ini tidak. Jadi, dari Cirebon ke Indramayu, ke Cikarang itu ada kerusuhan, tapi Karawang ini nggak terpengaruh tetap aman," ungkapnya.
Hal itu juga menunjukkan bahwa, toleransi dan pluralisme di Karawang sangat melekat sejak zaman dahulu, bahkan kata Nyana, jiwa sosial antarumat beragama juga sangat terasa jika ada kegiatan keagamaan di Karawang.
"Kita di Kelenteng ini, sering juga bulan puasa gelar buka bersama bagi-bagi takjil, bahkan kawan-kawan umat kristen protestan dan katolik juga tahu kalau mereka merayakan Natal, Misa, kita sering terlibat ikut mempersiapkan utamanya kalau umat kristen itu tetangga kita. Ini pemandangan yang cukup biasa dan sangat dilestarikan di Karawang," paparnya.
Bahkan hingga saat ini, religiosity index di Karawang masih yang tertinggi, sebab kesetaraan, toleransi dan kerja sama antar umat bergama masih berjalan.
"Saat ini juga sama, religiosity index di Karawang masih mencapai 85 persen, karena indikatornya masih dilestarikan, seperti toleransi, kesetaraan, kerja sama itu masih bisa kita rasakan juga sampai dengan sekarang," pungkas pria yang menjabat sebagai Ketua Pembina Yayasan Dharma Prasada Mahamethan itu.
-----
Artikel ini telah naik di detikJabar.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
TNGR Blokir Pemandu Juliana Marins, Asosiasi Tur Bertindak