Musim panas tiba lebih awal, melanda ratusan juta orang di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tak sedikit yang meninggal karenanya.
Melansir Lanka Times, Jumat (3/5/2024), gelombang panas itu bahkan diperkirakan semakin memburuk pada Mei dan Juni saat musim panas benar-benar waktunya..
Pada awal Mei, gelombang panas ekstrim menyebabkan kematian kepada hampir tiga lusin orang di kawasan tersebut. Sekolah-sekolah terpaksa ditutup beberapa minggu sebelum liburan musim panas dan lahan pertanian kekeringan.
Para ilmuwan memperingatkan dampak yang luas di beberapa wilayah yang padat penduduk dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan. Selain itu, pemerintah harus bersiap menghadapi dampak perubahan iklim dan berupaya mengurangi pemanasan global.
Beberapa wilayah India mencatat suhu maksimum lebih dari 43,3 Celcius pada bulan lalu. Pada 21 April, Kota Bhagdura mengalami suhu ekstrim hingga 46 derajat Celcius.
Departemen Meteorologi India pada Selasa (30/4/2024), mengeluarkan peringatan siaga merah untuk daerah bagian timur. Mereka memperingatkan bahwa gelombang panas akan memburuk sebelum dapat membaik.
Sementara di Thailand, pihak berwenang mendesak warga untuk tetap di rumah jika memungkinkan Itu setelah ada 30 kematian yang diduga akibat gelombang panas tahun ini. Di Bangkok, pihak berwenang mengatakan bahwa suhu pada Kamis (2/5/2025) mencapai 52 derajat Celcius.
Sedangkan tetangganya Vietnam telah mencapai suhu 43 derajat Celcius. Badan Meteorologi Nasional pun memperingatkan risiko kebakaran hutan, kekeringan dan sengatan panas.
"Ribuan rekor sedang dipecahkan di seluruh Asia, peristiwa paling ekstrem dalam sejarah iklim global," kata sejarawan cuaca Maximiliano Herrera dalam postingan di media sosial minggu lalu.
Apa penyebab panas ekstrim?
Ilmuwan masih memperdebatkan terhadap fenomena gelombang panas ini. Namun, terdapat peneliti yang menganggap hal itu karena El Nino dan pemanasan global.
"Saya pikir ini adalah kombinasi dari El Nino, pemanasan global dan musim," kata Ilmuwan iklim di Indian Institute of Technology di Mumbai, Profesor Raghu Murtugudi, kepada CBS News.
"Fenomena El Nino berubah menjadi fenomena La Niña. Ini adalah waktu ketika kenaikan suhu maksimum menuju Samudra Hindia terjadi. Jadi, semua hal ini pada dasarnya menambahkan steroid pada cuaca," sambungnya.
Murtugudi menyebut bahwa El Nino telah berkembang sejak Maret 2023 lalu. Jadi, gelombang panas tahun lalu juga disebabkan oleh kombinasi tersebut.
Namun, tidak semua ilmuwan iklim sepakat mengenai panas itu disebabkan dari dampak El Nino.
"Kami melihat gelombang panas bahkan tahun lalu dan itu tidak disalahkan pada El Nino," kata Profesor Krishna AchutaRao, seorang ilmuwan di Pusat Ilmu Pengetahuan Atmosfer di Indian Institute of Technology di Delhi, kepada CBS News.
"Sama seperti tahun ini, gelombang panas tahun lalu meluas dari beberapa bagian India ke Bangladesh dan Myanmar, dan sampai ke Thailand. Tahun ini bergerak ke timur ke Filipina. Jadi, ini adalah pola yang sama. Saya tidak terlalu yakin bahwa El Nino adalah penyebabnya," kata AchutaRao.
Namun, banyak ahli sepakat bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor utama panas ekstrem itu. Para ilmuwan mengatakan tahun lalu bahwa perubahan iklim membuat gelombang panas 100 kali lebih mungkin terjadi.
Masyarakat miskin paling rentan
Kata Murtugudi kepada CBS News, dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global ini sangat berdampak kepada populasi miskin di Asia.
Panas kemungkinan akan terus menyebabkan kerusakan yang meluas pada tanaman, yang selanjutnya berdampak pada para petani. Bahkan, ratusan ribu petani di India telah melakukan protes besar untuk meminta bantuan pemerintah.
Selain itu, himbauan untuk pembatasan aktivitas luar ruangan juga membuat pekerja kasar di sektor konstruksi mengalami tantangan.
Para ilmuwan dan aktivis lingkungan seluruh dunia pun terus mendesak negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Mereka juga memperingatkan bahwa hal itu adalah satu-satunya cara untuk memperlambat laju pemanasan global.
Hingga pemanasan global semakin buruk, ahli khawatir jumlah korban jiwa akan terus meningkat. Jutaan orang pun akan menghadapi risiko bekerja dalam kondisi berbahaya atau tidur dalam keadaan lapar.
Simak Video "Video: Kopi Panas atau Dingin, Mana yang Lebih Sehat?"
(wkn/wkn)