Bali semakin sering masuk dalam jajaran kawasan wisata yang mengalami overtourism atau ledakan wisatawan dari beragam versi. Benarkah Bali sedang bermasalah?
Pulau Dewata dengan julukan pulau surgawi digandrungi wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara sejak lama. Keindahan alam dan budaya yang kental menjadi magnet wisatawan berkunjung ke Pulau Bali.
Sayangnya, di balik daya tarik itu, muncul sebuah paradoks baru, yaitu ancaman overtourism.
Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, bersikukuh Bali tidak mengalami overtourism. Dia kembali menyebut masalah Bali adalah penumpukan wisatawan di satu kawasan, Bali Selatan. Bule-bule dan wisatawan lokal tumplek blek di kawasan itu. Kemacetan dan semakin berkurangnya area hijau menjadi salah satu indikatornya.
Pemayun menampik penilaian itu dengan membandingkan jumlah kunjungan wisata Bali pada 2019, sebelum pandemi Covid-19, selama pandemi, dan saat ini.
Dia menyebut jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun 2019 mencapai angka 6,3 juta wisatawan. Namun, jika dilihat setelah pandemi Covid-19, tahun 2021 hanya terdapat kunjungan sebanyak 51 orang.
Tahun 2022 saat Bali dibuka kembali, pariwisata Bali mulai menggeliat, hingga kunjungan mencapai 2,1 juta orang. Tahun 2023 dengan berbagai kemudahan visa, kunjungan wisatawan pun mencapai 5,3 juta orang.
Merujuk data itu, kunjungan wisatawan mancanegara belum melampaui data sebelum pandemi Covid-19. Jumlah kamar hotel yang tersedia pun cukup banyak, hingga 146 ribu kamar.
"Sesuai yang saya katakan, jumlah wisatawan mancanegara tahun 2023 belum mencapai puncak, bahkan masih kurang dari kunjungan wisatawan tahun 2019. Jumlah kamar yang tersedia pun masih banyak, sekitar 146 ribu kamar," kata Pemayun.
Tingkat hunian kamar di Bali pun masih terbilang rendah. Pemayun menyebut saat low season tingkat hunian kamar rata-rata hanya mencapai 50% dan saat high season tingkat hunian kamar mencapai rata-rata 60% hingga 65%.
Akui Bali Tak Lagi Sama
Pemayun menyadari Bali telah berubah. Hotel dan penginapan bertambah, luas sawah berkurang.
Di saat bersamaan, bertambahnya hotel dan penginapan, juga menyempitnya luas sawah, perekonomian warga dinilai meningkat.
Pemayun menyadari betul keselarasan antara kebutuhan ekonomi dan pariwisata dengan pelestarian lingkungan menjadi dilema besar yang harus dipecahkan.
Dia mengatakan Bali butuh mengetahui carrying capacity atau daya dukung lingkungan. Tidak bisa berlama-lama, solusi harus didapatkan dengan segera. Dimulai dengan mengetahui akar masalah.
"Kita di sini belum mengetahui masalah carrying capacity. Berapa sih Bali membutuhkan wisatawan. Apakah mengacu pada jumlah kamar yang tersedia? Apakah mengacu pada luas wilayah atau daya tampung sumber daya? Itu yang perlu diketahui," ujar Pemayun.
"Ini perlu pengkajian dan diskusi lebih dalam di Focus Group Discussion sehingga bisa mencari solusi. Agar bisa membangun Bali secara holistik, kita tidak bisa membangun Bali secara parsial," dia menambahkan.
"Kini kuncinya ada di bagaimana izin-izin membangun di daerah hijau. Kita di pemerintah provinsi sudah melakukan moratorium di beberapa kawasan yang dianggap sudah melebih kapasitas," kata dia.
Di akhir perbincangan dengan detikTravel, Pemayun menyampaikan kembali bahwa Bali belum mengalami overtourim, melainkan terjadi penumpukan wisatawan di beberapa daerah tertentu.
"Jika dilihat dari segi kunjungan, jumlah kamar yang tersedia, dan tingkat hunian kamar masih di bawah rata-rata. Jadi Bali belum alami overtourism, namun memang perlu penyebaran wisatawan ke berbagai penjuru Bali," kata Pemayun.
Simak Video "Video: Bali Masuk Daftar Destinasi Tak Layak Dikunjungi 2025"
(fem/fem)