Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali dan Jawa Timur menyebut industri perhotelan turut terdampak kebijakan efisiensi anggaran perjalanan dinas yang dilakukan pemerintah pusat. Bahkan, bukan tidak mungkin imbasnya sampai ke pemasok kebutuhan hotel. ,
Pemangkasan anggaran itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Inpres itu diteken Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari 2025.
Wakil Ketua PHRI Bali I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengungkapkan pemangkasan belanja perjalanan dinas sudah dirasakan oleh sektor perhotelan di Bali, terutama hotel yang memiliki fasilitas meeting, incentives, conventions, and exhibitions (MICE). Sejumlah agenda pertemuan yang telah dipesan sebelumnya terpaksa dibatalkan.
"Banyak (dibatalkan), khususnya hotel-hotel yang mempunyai fasilitas MICE yang sudah di-booking. Seperti hotel di Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Legian, sampai Sanur," ujar Rai kepada detikBali, Selasa (11/2/2025).
Rai mengatakan tak hanya sektor perhotelan di Bali yang terdampak oleh pemangkasan anggaran oleh pemerintah tersebut. Dia mengatakan beberapa hotel di daerah lainnya juga turut terdampak.
"Hampir semua daerah seperti di Bandung, Jawa Barat, Surabaya, Jakarta, termasuk Bali yang (hotelnya) telah di-booking akhirnya di-cancel karena anggarannya terbatas," kata dia.
Rai berharap pemerintah tidak terlalu banyak memotong anggaran dinas agar kegiatan MICE tetap berjalan. Di saat bersamaan dia menyarankan agar sektor perhotelan perlu mencari terobosan agar tak hanya mengandalkan kegiatan dari pemerintahan.
"Kalau kita kehilangan market MICE misalnya 15 persen, maka leaser-nya ditingkatkan. Jadi, promosi digencarkan dan ini juga harus berkolaborasi dengan pemerintah pusat dengan kebijakan," kata dia.
Pernyataan senada disampaikan oleh PHRI Jatim. Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, mengatakan hotel-hotel di Jawa Timur mulai merasakan dampak efisiensi APBN dan APBD.
Dia mengatakan dampak yang terasa adalah okupansi hotel. Bukan tidak mungkin jika efisiensi berlanjut, PHK massal staf hotel terjadi.
"Keluhan pembatalan dari hotel-hotel mulai terjadi Januari lalu, namun semakin terasa pada bulan ini. Akibatnya okupansi hotel di Jatim juga ikut turun, data sementara penurunannya mencapai 30%," ujar Dwi kepada detikJatim.
"Karena ketika okupansi hotel terus turun, pengelola yang terkena biaya-biaya tinggi. Sehingga dampak yang paling maksimal itu nantinya ya ada PHK atau pengurangan karyawan," dia menambahkan.
Berdampak ke Pemasok Kebutuhan Hotel
Selain itu, PHRI juga khawatir dampak ini bisa meluas hingga mempengaruhi kerja sama dengan para supplier kebutuhan perhotelan, termasuk para mitra UMKM yang menyuplai kebutuhan perlengkapan.
Karena itulah pihaknya berharap pemerintah melakukan kajian ulang terhadap efisiensi alokasi anggaran dengan tetap memperhatikan sektor pariwisata yang termasuk perhotelan dan MICE.
"Sebenarnya kami soal pemangkasan anggaran itu setuju saja. Namun anggaran untuk menstabilkan pariwisata juga perlu. Karena kalau tidak, tentu sektor pariwisata akan jatuh bersama-sama, bahkan tenggelam," kata Dwi.
Dwi juga mengatakan PHRI tengah menggodok rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah mengenai hal ini.
"Ini kita sedang musyawarah secara nasional dan akan buat rekomendasi untuk menyikapi hal ini. Selain itu ke depan kita juga akan memperluas segmen pasar agar tegap bisa bertahan," ujar dia.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Foto: Aksi Wulan Guritno Main Jetski di Danau Toba