Menpar Widiyanti Disentil soal Pacu Jalur, Dinilai Tak Peka Momentum Untungkan RI

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Menpar Widiyanti Disentil soal Pacu Jalur, Dinilai Tak Peka Momentum Untungkan RI

Syanti Mustika - detikTravel
Kamis, 10 Jul 2025 20:02 WIB
Menteri Pariwisata Widiyanti meninjau kesiapan TMII jelang libur panjang. Fasilitas dinilai siap menyambut hingga 200 ribu wisatawan.
Menteri Pariwisata Widiyanti (Rifkianto Nugroho)
Jakarta -

Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana disorot publik di tengah viralnya bocah penari Pacu Jalur yang mendunia. Kementerian Pariwisata dinilai tak peka dan lamban merespons momen penting tersebut hingga memicu kritik tajam dari Masyarakat Sadar Wisata (Masata) hingga pengamat komunikasi.

Sentilan pertama disampaikan oleh Masyarakat Sadar Wisata atau Masata yang menyebut Kementerian Pariwisata tak peka terhadap potensi Pacu Jalur di Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Khususnya, setelah tarian anak mendunia lewat tren aura farming.

Abie Besman, pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran, mengatakan, bukan hanya Widiyanti, namun semua pejabat publik yang lamban merespons isu yang viral maka mereka bakal kehilangan momentum, kemudian kehilangan kendali narasi, dan bisa mengakibatkan dinilai tidak relevan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika pejabat publik lamban merespon isu yang viral, mereka bukan lagi hanya kehilangan kendali atas narasi tapi juga lebih buruk lagi bisa dianggap tidak relevan oleh publik digital. Bahkan orang yang cepat pun bisa dianggap tidak cepat sekarang itu kalau mereka responsnya tidak cepat," kata Abie dihubungi detikcom, Kamis (10/7/2025).

Abie menambahkan bahwa permasalahan komunikasi modern hari ini bukan sekedar tentang apa yang disampaikan, tapi seberapa cepat, tepat, dan empatik pesan itu hadir di ruang publik. Tiga hal inilah yang menurut Abie belum sepenuhnya dimiliki Menpar Widiyanti.

ADVERTISEMENT

"Nah, saya melihat dari dari kacamata saya, Bu Widi ini belum bisa memenuhi tiga kaidah ini, cepat, tepat dan empatik. Beberapa kali juga dia terlihat gagap, beberapa kali dia terlihat isunya tidak menguasai, dan sempat juga beberapa kali juga komentar yang dikeluarkan juga tidak empatik ya," kata dia.

Abie pun menyampaikan sejumlah saran untuk Widiyanti dan timnya. Dia mengatakan sebaiknya Widiyanti belajar dan berlatih ekstra keras untuk bisa merespons isu pariwisata.

"Usulan yang paling standar adalah berlatih ya, belajar gitu kan, atau punya tutor pribadi gitu. Sekali lagi, komunikasi itu bukan panasea, bukan obat semuanya komunikasi itu," kata dia.

"Meskipun Bu Widi belajar sesuatu dari setahun dia menjabat sebagai menteri, tapi yang pertama, dia harus memiliki tim komunikasi krisis yang bukan hanya jago ngomong, tapi juga jago mendengar. Serta tim ini bekerja 24 jam dan paham dinamika sosial media. Jangan menunggu momen. Jangan menunggu circumstances itu menjadi harus dijawab dulu karena jadi kuasa dari awal," dia menambahkan.

"Lalu, yang kedua berani tampil sebelum diseret opini publik. Seize the information, kuasai platform, tunjukkan kepekaan dan kehadiran, bahkan jika informasi masih berkembang, berani saja masuk ke situ. Caranya gimana? Yang ketiga itu, jangan lagi menggunakan gaya komunikasi yang defensif. Itu banyak sekali sekarang pejabat kita menggunakan pemerintahan defensif," ujar dia.

Lebih lanjut, Abie mengatakan lambatnya komunikasi sebagian besar pejabat publik masih beroperasi dalam kerangka komunikasi konvensional. Yakni, gaya komunikasi yang lebih mengutamakan formalitas, birokrasi, dan juga clearance.

"Jadi, semuanya harus beres dulu baru komentar. Padahal dalam era kalau kita mengacu sekarang kayak network public communication itu harusnya komunikasi pemerintah itu sifatnya partisipatif dan dialogis. Bukan lagi top down dan bottom up. Publik itu enggak bisa menunggu klarifikasi, mereka menuntut kehadiran dan reaksi yang manusiawi dari setiap pejabat gitu kan," ujar dia.

Terkait kondisi gaya komunikasi pejabat politik, Abie menilai banyak para pejabat hanya menilai komunikasi sebagai menyampaikan informasi, padahal kunci dari era sekarang adalah dialog.

"Bisa kita lihat dengan kacamata perbedaan digital literasi, banyak pejabat, saya enggak bilang semuanya ya, masih menganggap komunikasi itu hanya sebagai aktivitas menyampaikan informasi ke publik. Padahal nih kata kuncinya di era digital komunikasi adalah dialog," kata dia.

"Jadi, sepertinya saya mengkritik keras bagaimana pemerintahan Pak Prabowo ini dari top sampai down itu banyak juru bicara tapi sedikit juru pendengar," dia menambahkan.

"Sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat bukan lagi penjelasan apa yang terjadi, tapi menunjukkan pejabat itu peduli dengan apa yang dirasakan masyarakat. Sayangnya kan yang muncul biasanya pernyataan birokrasi, pembelaan diri, bahkan tidak divalidasi," lanjut Abie.

Keberadaan juru bicara juga menjadi poin yang disorot oleh Abie. Ketidakcakapan juru bicara bisa menjadi 'penghambat' bagi pejabat publik dalam merespon isu atau permasalahan dalam masyarakat.

"Nah, karena banyak pejabat yang tidak menguasai komunikasi dialogis tadi dan kebanyakan juru bicara juga diambil hanya gara-gara dia terkenal dan pernah kerja di bidang komunikasi, dan memahami komunikasi itu berbeda ya. Itu jadinya banyak pejabat publik yang memilih untuk diam dulu karena takut disalahkan, cek angin atau takut dikoreksi gitu kan. Padahal itu adalah konsekuensi dari budaya politik komunikasi. Makanya keadaan komunikasi itu embedded atau apa melekat dengan pejabat publik," kata dia.




(sym/fem)

Hide Ads