Jepang dan Turis: Cinta sekaligus Benci

Muhammad Lugas Pribady - detikTravel
Jumat, 03 Okt 2025 13:14 WIB
Jepang. (Getty Images/iStockphoto)
Jakarta -

Jepang kembali mencatat rekor jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun ini. Namun, di sisi lain juga risau dengan overtourism.

Setelah menerima 36,9 juta wisatawan mancanegara sepanjang 2024, Jepang kembali kedatangan 21,5 juta pengunjung hanya dalam enam bulan pertama 2025. Turis-turis asing itu membelanjakan total 8,1 triliun yen atau sekitar Rp 866,7 triliun. Nominal itu menjadi jumlah tertinggi dalam sejarah Jepang.

Mengutip CNA, Jumat (3/10/2025) fenomena itu menjadi berkah ekonomi, namun di saat bersamaan menimbulkan tekanan sosial dan budaya, terutama di kawasan wisata populer seperti Tokyo, Kyoto, dan Kamakura.

Di Kamakura yang merupakan kota kecil berpenduduk 170 ribu jiwa, rata-rata 44 ribu wisatawan datang setiap hari.

Anggota Dewan Kota, Ayako Maekawa, mengatakan jumlah wisatawan yang berlebihan itu membuat warga lokal tidak nyaman. Buat warlok, kota terasa semakin sempit, fasilitas umum berebutan dengan wisatawan asing.

"Ke mana pun Anda pergi, bahkan di jalan-jalan kecil, selalu ada orang di sekitar. Kebanyakan dari mereka adalah turis asing. Itu fakta yang tak bisa kita bantah lagi," ujar Ayako.

Ledakan jumlah wisatawan itu menyebabkan berbagai masalah, mulai dari kemacetan di transportasi umum hingga ketidaksopanan budaya. Bus umum di Kamakura penuh sesak, bahkan warga lanjut usia kesulitan naik untuk ke rumah sakit.

Survei Ernst & Young pada 10 destinasi wisata di Jepang menunjukkan bahwa sekitar separuh warga merasakan dampak negatif pariwisata. Di Kyoto, akses ke distrik geisha Gion dibatasi. Di Fujikawaguchiko, tirai hitam dipasang demi menghalangi pemandangan Gunung Fuji yang terlalu sering dijadikan latar foto.

Meski demikian, pemerintah Jepang tetap menargetkan 60 juta wisatawan per tahun pada 2030. Dosen Geografi di Universitas Ryutsu Keizai, Kazuki Fukui, menjelaskan dengan adanya kunjungan wisatawan, sisi baiknya mampu menopang ekonomi di wilayah tertentu.

"Krisis populasi menurunkan jumlah konsumen dan tenaga kerja. Wisatawan asing bisa mengisi kekosongan itu, khususnya di pedesaan," kata Kazuki.

Daya Tarik Sosial Media dan Yen yang Melemah

Jepang menjadi destinasi unggulan di media sosial. Lanskap kota yang cemerlang, kuil kuno, hingga puncak bersalju menjadikannya favorit para konten kreator. Nilai tukar yen yang melemah, maskapai murah, dan kemudahan visa juga menjadi pemicu ledakan turis.

"Orang-orang menunggu 30 menit hanya untuk naik bus," kata pakar Studi Jepang dari Universitas Nasional Singapura, Chris McMorran.

Ilustrasi wisata Jepang (AP/Hiro Komae)
Survei Bank Pembangunan Jepang dan Yayasan Biro Perjalanan Jepang mencatat 32% dari 7.800 wisatawan mengeluhkan keramaian yang mengganggu kenyamanan. Bahkan pulau terpencil seperti Miyako di barat daya Okinawa terkena dampak, di mana warga sewa melonjak, menyulitkan warga lokal bertahan di tanah kelahiran mereka.

Jepang dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi budaya, di mana norma sosial tidak selalu dijelaskan secara eksplisit. Bagi turis asing, hal tersebut kerap menimbulkan salah paham. Contoh sepele seperti menggiring koper di jalanan sempit bisa dianggap mengganggu.

"Itu seperti berjalan dengan sepatu di dalam rumah," kata McMorran.

Masalah lainnya adalah suara keras di transportasi umum. Pengelola biro wisata, Hiroshi Mizutani, pernah harus mengantar kliennya yang merupakan direktur asal China keluar dari kereta cepat karena berbicara lantang di telepon.

Ketidakpahaman budaya bahkan mendorong beberapa tempat usaha menghindari turis. Di Kyoto, sebuah restoran memasang tanda 'tidak ada lowongan' dalam bahasa Inggris, namun bertuliskan 'silakan masuk' dalam bahasa Jepang. Aksi ini viral di media sosial.



Simak Video "Video: Rencana Jepang Naikkan Pajak untuk Turis Asing"

(upd/fem)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork