DPR RI resmi mengesahkan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada 2 Oktober. Berikut poin-poin kebaruan dalam UU Kepariwisataan itu.
Revisi UU Kepariwisataan terbaru itu merupakan yang kedua sejak era reformasi. Revisi pertama dilakukan pada 2009, menggantikan UU Nomor 9 Tahun 1990 yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman di dunia pariwisata.
Dalam revisi terbaru ini, definisi kepariwisataan mengalami perubahan besar. Jika sebelumnya hanya dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pariwisata, kini kepariwisataan didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat multidimensi dan multidisiplin, yakni mencakup kebutuhan individu, negara, serta interaksi antara wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah, hingga pelaku usaha.
Perbedaan paling mencolok dari perubahan UU Kepariwisataan itu adalah perluasan makna kepariwisataan itu sendiri. UU kini lebih inklusif, memberi ruang bagi masyarakat setempat, pelaku industri, dan seluruh elemen dalam ekosistem pariwisata untuk terlibat secara aktif.
Perubahan itu juga lahir sebagai respons atas perubahan arah pariwisata global. Dunia tak lagi melihat pariwisata hanya sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga sebagai medium untuk membangun keadilan sosial dan ruang tumbuh bagi komunitas lokal.
Salah satu penyebab yang mendasari perubahan UU itu adalah ledakan pariwisata massal di berbagai belahan dunia. Sebab, tanpa pengelolaan yang adil dan berkelanjutan, pariwisata bisa merugikan masyarakat setempat. Maka, semangat baru dalam UU ini hadir untuk menjawab tantangan tersebut.
Ketua Panja RUU Kepariwisataan yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim menilai pengesahan UU Kepariwisataan menandai era baru paradigma pariwisata yang berkelanjutan.
"Pengesahan UU Kepariwisataan menunjukkan respons bersama antara DPR dan pemerintah atas dinamika dan kebutuhan masyarakat agar pembangunan pariwisata dilaksanakan secara lebih inklusif, berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal," ujar Chusnunia beberapa waktu lalu.
Dia menyebut revisi UU Kepariwisataan itu juga menambahkan empat bab baru yang mengatur (1) perencanaan pembangunan pariwisata, (2) pengelolaan destinasi, (3) pemasaran terpadu, serta (4) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk digitalisasi.
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana juga menyebut UU Kepariwisataan itu menjadi paradigma baru yang membuat tata kelola pariwisata lebih terintegrasi. Jika sebelumnya hanya ada empat pilar pariwisata Indonesia, kini menjadi 12 pilar.
"Semua perubahan itu diarahkan untuk menjawab tantangan zaman, sekaligus menjaga keseimbangan ekonomi, budaya, dan lingkungan serta kebermanfaatannya untuk rakyat," kata dia.
Ya, sebelum revisi UU Kepariwisataan tahun 2025, pembangunan sektor pariwisata di Indonesia bertumpu pada empat pilar utama, yaitu destinasi, pemasaran, industri, dan kelembagaan.
Pilar destinasi berfokus pada pengembangan kawasan wisata, termasuk keindahan alam, budaya lokal, serta infrastruktur penunjangnya. Sementara itu, pemasaran pariwisata menjadi strategi untuk mempromosikan destinasi ke tingkat nasional maupun internasional, seperti melalui kampanye Wonderful Indonesia.
Kmudian, pilar ketiga, yaitu industri pariwisata, mencakup seluruh pelaku usaha yang terlibat, mulai dari hotel, restoran, agen perjalanan, hingga UMKM lokal. Terakhir, kelembagaan pariwisata menekankan pentingnya tata kelola, regulasi, serta peran aktif pemerintah dan lembaga terkait dalam mendukung pengembangan sektor ini.
Keempat pilar itu menjadi fondasi utama pengelolaan pariwisata nasional selama lebih dari satu dekade sebelum kemudian diperluas menjadi ekosistem pariwisata yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam revisi UU Kepariwisataan terbaru.
Widi menjelaskan perencanaan pembangunan dalam UU Kepariwisataan berkembang menjadi 12 pilar, yakni
1. Perencanaan kepariwisataan
2. Pendidikan
3. Pengelolaan destinasi pariwisata
4. Industri pariwisata
5. Pengembangan daya tarik wisata
6. Penyediaan sarana dan prasarana
7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata
8. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
9. Pemberdayaan masyarakat lokal
10. Pelibatan asosiasi kepariwisataan
11. Diplomasi budaya
12. Kreasi kegiatan (kreasi event/kegiatan pariwisata)
Simak Video "Video: Kunjungan Wisatawan Melonjak, Jalur Treking Pulau Padar Macet"
(fem/fem)