Pelaku industri pariwisata menilai pemerintah belum sepenuhnya menghargai peran sektor ini dalam perekonomian nasional. Meski setiap tahun menyumbang devisa hingga ratusan triliun rupiah, mereka merasa tidak dilibatkan secara substansial dalam revisi Undang-Undang Kepariwisataan yang baru saja disahkan DPR dan pemerintah.
Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Regulasi baru itu diklaim akan menjadi fondasi penting untuk pengembangan pariwisata nasional yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan adaptif.
Namun, keputusan itu justru menimbulkan kekecewaan besar bagi kalangan industri wisata, terutama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani menyatakan kecewa karena GIPI tidak lagi disebutkan dalam Undang-Undang Kepariwisataan yang baru. Padahal, dalam undang-undang sebelumnya, keberadaan GIPI diatur secara eksplisit melalui Pasal 50, yang menegaskan peran lembaga ini sebagai wadah resmi komunikasi antara pelaku industri dan pemerintah.
"Rumah untuk asosiasi pariwisata ini tiba-tiba hilang dalam undang-undang. Tidak ada pembahasan, dan ini mengejutkan pelaku industri," ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Nusantara International Convention Exhibition (ICE) Pantai Indah Kapuk 2, Banten, Minggu (12/10/2025), yang juga dihelat secara hybrid.
Ia menilai keputusan menghapus GIPI dari undang-undang seperti menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR ingin mengecilkan peran pelaku industri.
"Kami melihat, oh DPR memang mau mengecilkan peran industri ya? Pesan yang kami tangkap seperti itu. Ini yang membuat kami sangat kecewa," ujarnya lagi.
Dalam konferensi pers itu turut hadir Sekretaris Jenderal GIPI Pauline Suharno dan Ketua Umum Himpunan Pramuwisata Indonesia Imam Widodo, yang sama-sama menyuarakan keresahan pelaku usaha terhadap arah kebijakan pariwisata nasional.
Dampak dari Hilangnya GIPI di UU Kepariwisataan
GIPI sebelumnya diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 UU lama, yang menyebut bahwa untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif, dibentuk wadah bernama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Ayat 2 menjelaskan bahwa keanggotaannya terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha, asosiasi profesi, serta organisasi terkait lainnya. Ayat 3 menyebutkan bahwa GIPI berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah pusat dan daerah, serta wadah komunikasi dan konsultasi antaranggota dalam pembangunan pariwisata nasional.
Dengan hilangnya GIPI dalam UU baru, Hariyadi menilai, eksistensi industri pariwisata kehilangan payung hukum yang kuat.
"Undang-undang memberi legitimasi bagi kami untuk menghimpun anggota, menyusun program, dan menjalin kerja sama dalam maupun luar negeri. Tanpa itu, posisi industri menjadi lemah," kata Hariyadi.
Padahal, sektor pariwisata pada 2024 menyumbang devisa sebesar Rp 280 triliun dengan 13,9 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Angka tersebut dicapai melalui kolaborasi erat antara pemerintah, pengusaha, dan ribuan pelaku UMKM di seluruh Indonesia.
Simak Video " Menteri Pariwisata Pastikan Bali Tetap Terbuka Bagi Wisatawan"
(row/ddn)