Matah Ati, Semangat Cinta dan Perjuangan
Kamis, 13 Sep 2012 18:00 WIB

Wiwit Prasetyono
Jakarta - Beberapa orang dengan kostum prajurit memasuki lokasi pertunjukan. Duduk membelakangi penonton menghadap ujung belakang panggung yang mulai terbuka sedikit demi sedikit. Tokoh utama dengan pakaian layaknya satria Jawa muncul ke permukaan.Datang mendekati para prajurit, bersamanya ada enam penasehat dan seorang perempuan tua. Dia adalah Raden Mas Said, cucu dari Raja Jawa-Amangkurat IV yang pada masanya bangkit berdiri melawan penjajah Belanda dengan mengadakan perang gerilya dari desa-desa di sekitar Surakarta.Cerita sejarah abad ke-18 ini tidak sekedar dongeng. Pada tanggal 8-10 September 2012 yang lalu telah digelar Drama Tari Kolosal berjudul Matah Ati di Halaman (Pamedan) Puro Mangkunegaran, Solo. Pertunjukan kali ini merupakan yang terbesar sekaligus teristimewa karena mengambil lokasi di tempat lahirnya kisah tersebut. Sebelumnya telah digelar pertunjukan serupa di Esplanade-Singapura dan di Taman Ismail Marzuki-Jakarta. Lebih dari 2.000 penonton memadati arena pamedan, baik itu yang duduk di kursi dengan membeli tiket seharga Rp 250.000-750.000 maupun yang lesehan gratis di muka panggung. Lebih istimewa karena manajemen pertunjukan yang rapi, tepat waktu dan profesional telah membuat penonton yang berjumlah ribuan tersebut merasa aman dan nyaman. Berhasilah kiranya pesan moral yang diselipkan oleh Group Lawak Sahita yang turut ambil bagian dalam pertunjukan tersebut, bahwa Solo melawan kekerasan dengan kesenian!Tentang pertunjukan ini, basisnya adalah tari klasik dari lingkup Puro Mangkunegaran. Ceritanya dituturkan melalui syair atau tembang Jawa yang sangat halus. Menyentuh perasaan, bahkan kadang menyayat hati. Konsep pertunjukan ini diberi nama Langendriyan, serupa dengan Broadway, yang mensyaratkan penguasaan tari, musik dan akting pada setiap pemerannya. Dalam khasanah tari klasik Jawa, posisi Mangkunegaran sangat dikenal dengan koleksi tari-tari Wireng atau keprajuritan. Terpapar jelas dalam Drama Tari Matah Ati, ketrampilan prajurit panah, keris, pedang-tameng, tombak bahkan pistol, diperagakan apik oleh penari pria maupun wanita.Bukan tanpa alasan melihat Mangkunegaran dipenuh koleksi tari keprajuritan. Raden Mas Said atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyowo sejak muda belia mengangkat senjata melawan penjajah Belanda yang mengadu domba kerajaan Kartasura di abad ke-17. Tragis, hingga ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Aryo Mangkoenagoro harus dibuang ke Ceylon akibat fitnah dari dalam istana. Perjuangan Mas Said berbasis gerakan pedesaan. Dia kumpulkan petani-petani di daerah Pegunungan Seribu bagian selatan, atau sekarangΒ Wonogiri, baik dari kalangan pria maupun wanita.Tersebutlah kisah, Raden Mas Said melihat seorang gadis dari Desa Matah yang memancarkan aura sangat kuat pada sebuah pertunjukan wayang. Rubiyah, nama gadis tersebut bahkan hadir dalam hening tapa brata Sang Pangeran. Di tengah derasnya perang, perasaan Mas Said tak terbendung. Berkali-kali nenenda dan para pengawal menyadarkan arti pentingnya perjuangan, termasuk mengingatkannya bahwa rakyat selalu berkaca pada dirinya. Kerapuhannya akan berdampak kelesuan pagi para pengikut, sedang kekuatannya adalah pembakar semangat. Beruntung, karena Rubiyah ternyata menyambut hati Sang Pangeran. Lebih dari itu, Rubiyah bersedia menjalani pembayatan untuk menjadi penglima prajurit perempuan.Perang demi perang berlalu namun kekalahan masih mendera kubu Mas Said dan pengikutnya. Dalam pertunjukan digambarkan dua orang pribumi membawa pecut besar yang menyimbolkan penghianatan dari dalam kelompok sendiri. Tanpa sadar, dari dulu hingga kini, tamak akan kekuasaan telah menjadikan saudara sebangsa sebagai objek penderitaan. Maka Mas Said bangkit menyadarkan masyarakat dengan semboyan "Tiji Tibeh"! Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh (mati satu mati juga yang lainnya, berhasil satu berhasil pula yang lainnya).Bersatunya tekad dan semangat untuk berjuang pada akhirnya membuahkan hasil gemilang.Β Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh mengantarkan Mas Said kedalam perundingan yang menjadikannya Adipati Mangkoenagoro yang pertama. Rubiyah yang selalu mengobarkan semangatnya dijadikan permaisuri dengan gelar Bendoro Raden Ayu Kusuma Matah Ati. Matah Ati selain berarti perempuan dari Desa Matah juga bermakna sebagai sang penjaga hati. Dari Matah Ati lahir generasi-generasi penerus dinasti Mangkunegaran. Dari bersatunya semangat yang tulus dan suci, telah menghasilkan kemenangan dan kebahagiaan.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum