Jika Anda masih berpikiran bahwa Tuhan itu tidak adil, maka silahkan datang ke Wamena. Daerah ini berada di tengah kontinen New Guinea dan dikelilingi benteng kokoh berupa pegunungan, hampir tidak mungkin penduduknya bisa mencecap rasa asin garam yang biasa dinikmati oleh penduduk pantai. Tapi itu sudah, Tuhan Maha Adil, maka Ia ciptakan sebuah mata air garam yang ada di puncak gunung.
Saya sendiri tidak bisa menjelaskan, bagaimana bisa sebuah mata air yang jauh dari samudera bisa berasa asin. "Mungkin ada kandungan mineral yang membuatnya seperti itu," kata Bang Herman, guide kami menduga-duga. Karena memang tidak tahu penjelasannya secara ilmiah, maka lebih baik saya menganggapnya sebagai salah satu bentuk kebesaran Tuhan.
Menuju Salt Spring susah-susah gampang. Sebelum mendaki, saya dan Ayos harus mengikuti Bang Herman untuk berjalan melintasi ladang-ladang dan beberapa sapi yang merumput. Letak Salt Spring ini tidak jauh dari Desa Jiwika, tempat kami melihat mumi ksatria Mabel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua orang bocah wanita juga ikut dalam rombongan ini. Mereka membawa noken kecil di belakang kepala. Isinya berupa kalung dan gelang hasil kriya handmade. Salah satunya bernama Justina, mukanya manis, bergigi putih rapi, matanya bulat. "Saya su kelas lima SD kakak," katanya.
Setelah melintas ladang, kami pun tiba di kaki gunung. Sebenarnya ini hanyalah sebuah bukit saja, jika diukur dari permukaan tanah tidak begitu tinggi. Hanya saja saat dihitung dari permukaan laut, ketinggiannya sekitar 2100 mdpl. Kami dan bocah-bocah Jiwika ini pun mulai trekking.
Selama perjalanan Justina mengoceh tentang apa saja. Ia bercerita tentang atap rumbia, kelapa hutan, dan sebuah batu besar di pinggir jurang. "Ini batu punya nama Batu Babi kakak, biasa kita punya orang tua dan tete (kakek) setelah pesta bakar batu babinya dimakan di sini," ujarnya sambil duduk di atas sebuah batu besar dengan sisi atas yang lapang. Cukup besar untuk duduk lima orang dewasa. Letak batunya di pinggir jurang, dari atas batu ini bisa dilihat panorama Desa Jiwika dari atas dan hamparan ladang di sekelilingnya. Β
Setelah satu jam mendaki di punggung gunung dengan kemiringan 45 derajat, Ayos mulai tampak terengah-engah. Sedangkan para anak kecil berperut ramping ini sama sekali tidak terlihat lelah. Melihat langkah dan nafas mereka, jelas bahwa bocah-bocah ini sudah terbiasa bermain ke Salt Spring. Bahkan mereka mendaki tempat ini dengan gaya ngece; berlari-lari kecil, meninggalkan Ayos yang bahkan berjalan pun kesusahan. Mengingatkan saya ketika mendaki gunung dalam keadaan ingin buang air kecil.
"Ayo kak, jalan terus, biasa turis Indonesia tidak pernah mau jalan sampai puncak, capek katanya. Jadi lebih banyak orang luar negeri yang lihat Salt Spring ini," kata Justina menyemangati Ayos pada sebuah tanjakan penuh karang.
Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan beberapa penduduk tua muda yang turun menenteng jeriken berisi penuh air garam. Penduduk biasa menggunakan air asin ini sebagai air untuk merebus sayur. Tapi pada zaman dahulu dimana jeriken masih merupakan benda langka, orang Jiwika biasa membawa rasa asin ini dengan batang pisang.
Setelah sekitar satu setengah jam mendaki, kami tiba di sumber mata air tersebut.Β Ukurannya kecil saja, mata airnya terlindung di balik punggung-punggung batu besar. Airnya sendiri terlihat keruh, tapi setelah dimasukkan botol air mineral terlihat sangat jernih.
Dua anak perempuan Suku Dani tadi menunjukkan pada saya dan Ayos bagaimana cara mereka mengolah air garam untuk di bawa pulang.
Pertama mereka mengupas batang pisang yang dibawa dari rumah. Dua kakak beradik ini mengurai batang tersebut menjadi lembaran-lembaran tipis dan merobeknya menjadi cacahan kecil dengan tangan. Selanjutnya dua anak ini mencelup potongan batang lunak tadi ke dalam air, berfungsi menhadi semacam spon alam yang menyerap larutan mineral yang terkandung dalam air.
Mereka mencelupnya berkali-kali, gerakannya hampir sama dengan orang yang sedang mencuci baju di sungai, Dicelup, diremas, dikucek, dan dicelup lagi, begitu saja berulang kali. "Mereka kadang juga merendamnya beberapa jam, seperti membuat asinan dari batang pisang," jelas Bang Herman, guide kami yang tahu banyak hal.
Saya sedikit terpana dengan cara purba ini. Tradisi yang diciptakan oleh para jenius lokal memang mudah memubuat kagum siapa saja, bahkan orang modern sekalipun. Saya yang sudah pernah melihat proses pembuatan garam di Madura, menjadi terkesima dengan orang-orang gunung yang menemukan cara untuk menyecap rasa asin yang memang sangat langka di Wamena.












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
Wisata Guci di Tegal Diterjang Banjir Bandang, Kolam Air Panas sampai Hilang!