Berjalan Menembus Kabut Bromo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Berjalan Menembus Kabut Bromo

Muhammad Nurullah - detikTravel
Kamis, 10 Feb 2011 12:13 WIB
loading...
Muhammad Nurullah
Sunrise di Gunung Bromo
Ojek kuda ksatria lautan pasir
Ojek kuda ksatria lautan pasir
Berjalan Menembus Kabut Bromo
Berjalan Menembus Kabut Bromo
Berjalan Menembus Kabut Bromo
Jakarta - Saya mungkin termasuk orang yang telat mengunjungi Gunung Bromo. Sudah hampir 24 tahun saya hidup di Jawa Timur tapi baru beberapa waktu lalu saya bisa kesana. Bersama 4 orang travelmate yang semuanya adalah saudara saya, kami sepakat untuk tidak menggunakan hardtop, ojek atau kuda untuk menuju kawah Bromo. Alasannya, karena kami ingin menjajal trek lautan pasir Bromo dengan berjalan kaki.

Pukul 03.30 kami berangkat dari homestay. Berbekal senter seadanya, kami berlima mulai menyusuri lautan pasir mengikuti pathok-pathok pembatas kawasan Gunung Bromo, karena itulah acuan kami supaya tidak kesasar.

Ternyata melintasi lautan pasir Bromo tidak semudah yang saya bayangkan. Kami harus berhadapan langsung dengan kabut tebal yang saat itu mulai turun memenuhi lautan pasir ini. Selain itu, debu dari lalu lalang hardtop yang seperti arak-arakan pejabat itu juga sangat mengganggu pernafasan. Jadi, bagi pejalan seperti kami, memakai masker hukumnya wajib saat melintasi kawasan ini. Tak hanya itu, kombinasi kabut dan debu tadi ternyata juga sukses membuat jarak pandang semakin terbatas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah hampir 1,5 jam berjalan, akhirnya kami sampai juga di starting point pendakian ke kawah Bromo. Disitu sudah ramai orang yang sedang bersiap-siap. Banyak yang menawarkan ojek kuda, tapi kami tetap setia dengan prinsip 'jalan kaki' kami. Ojek kuda disini rupanya sudah diorganisir dengan baik. Jadi setiap pemilik diberi identitas berupa nomor urut, mereka tidak perlu berebut mencari pelanggan. Mereka tinggal menunggu giliran dipanggil sesuai nomor urutnya.

Saat perjalanan menuju kawah Bromo, kabut saat itu masih tetap tebal. Masker yang saya pakai sejak di lautan pasir ternyata sudah tidak mempan lagi. Alhasil, hidung saya mulai bereaksi, bersin-bersin dengan ekstrim. Sudah hampir 2 pak tissu ukuran sedang saya habiskan sepanjang perjalanan, tapi belum juga mampet. Bahkan kadang sampai tidak terasa keluar sendiri dari hidung. Untung saja keadaan sekitar masih berkabut jadi kejadian disgusting ini tidak sempat membuat heboh pengunjung lain.

Meskipun sudah agak siang dan kabut mulai menghilang, rupanya dinginnya udara di sekitar Bromo masih dirasakan pengunjung lain. Buktinya, toilet sampai antri seperti antri minyak subsidi, terutama toilet cewek. Saya yang dari tadi juga kebelet buang air kecil sedikit tenang karena dari kejauhan, area toilet cowok tampak lengang. Begitu saya mendekat, jeng!jeng! ternyata disana sudah ada beberapa orang cewek yang didominasi kaum ibu sedang antri. Nggak salah masuk toilet toh buk?, tanya mas-mas di pinggir saya. Toilet cewek antri panjang mas, udah kebelet ini, jawab mereka kompak. Jiaahhhh¦!!! Mungkin merekalah sekumpulan orang nekat yang dibutuhkan negara jika seandainya suatu saat negara ini kekurangan pasukan saat berperang.

Dan akhirnya sekitar pukul 8 pagi, kabut sudah benar-benar hilang. Deretan bukit-bukit yang indah disekitar Gunung Bromo sepenuhnya terlihat. Hardtop-hardtop yang membawa para pelancong juga tampak rapi berwarna-warni. Sebelum kembali ke homestay, kami berlima sempat minum kopi di warung sekitaran toilet. Disela-sela kami minum kopi, si Yusi, sepupu saya, nyeletuk, Sebenarnya ke Bromo itu nggak susah lho. Dari homestay bisa nyewa hardtop atau ojek, mau ke kawah juga bisa naik kuda, kalau kedinginan juga ada warung kopi di atas. Masalahnya cuma satu, harus bawa uang banyak!. That's right, Yus!:)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads