Sabtu, 27 Februari 2021. Fajar mulai menyingsing, tiba-tiba terbersit pikiran saya untuk mengunjungi suatu tempat yang dari dulu membuat saya penasaran. Ya, tempat itu tidak lain ialah Situs Perjanjian Giyanti.
Di buku sejarah Indonesia Perjanjian Giyanti pasti bukanlah perihal asing bagi kita, ya lantaran perjanjian itu kekuasaan Mataram Islam terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tapi pernahkah ada yang terpikir di mana tempat perjanjian tersebut dulunya berlangsung?
Itulah rasa penasaran yang mendorong saya untuk pergi ke Karanganyar hari itu juga dari Jogja. Mumpung masih libur kuliah jadi saya sempat-sempatkan waktu untuk memenuhi rasa penasaran saya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar 2 jam lebih perjalanan yang ditempuh hingga tibalah di situs itu. Tempatnya berada di pinggir jalan, di sebelah hamparan sawah nan membentang. Di depan situs tersebut terdapat gapura putih untuk masuknya pengunjung.
Tampak pepohonan besar berakar luas nan dipagari tembok putih di hadapan saya ketika memasuki area situs tersebut. Siapa yang menyangka semua itu menjadi saksi bisu Perjanjian Giyanti yang telah diadakan sekitar 266 tahun silam.
Awalnya saya hanya berkeliling dari luar menyaksikan setiap sudut area bersejarah di sana hingga kemudian datanglah rombongan ibu-ibu penggiat sejarah dari Yogyakarta yang melakukan kunjungan. Mereka menghadap ke bapak penjaga situs.
Bapak itu lalu membukakan gerbang area pepohonan situs yang sebelumnya terkunci. Saya tertarik untuk ikut tapi ada sedikit keraguan lantaran saya berpikir mungkin saja rombongan ibu-ibu itu sedang melakukan penelitian dan takutnya mengganggu.
Namun rasa ragu tersebut hilang tatkala rombongan ibu-ibu di sana mengimbauku untuk ikut masuk dengan senyuman ramah mereka. Dengan penuh semangat saya langsung bergegas bergabung ke mereka. Ternyata rombongan mereka juga hanya sekadar melakukan kunjungan biasa di sini, jadi tiada ragu lagi saya untuk gabung.
Kami kemudian berada di lingkungan pepohonan Situs Perjanjian Giyanti sambil dipandu oleh bapak sang penjaga. Dengar-dengar dari bapaknya, situs ini memang kurang dikenal banyak orang. Bahkan ironisnya, kata bapaknya orang-orang sekitar pun belum tentu tahu ada situs bersejarah di tempat ini.
Pengunjung situs ini biasanya jarang, apalagi setelah hadirnya pandemi. Banyak hal yang dibahas oleh bapak dan rombongan ibu-ibu di situ, sedari tahu aku hanya diam mendengarkan dan memperhatikan setiap sisi akar-akar yang menjalar di situ.
Sambil membayangkan bagaimana pihak Mataram Islam dan VOC saling berunding di tempat ini - bagaimana mereka memijakkan kaki di atas akar-akar ini, dan apa percakapan mereka kala itu? Makin banyak hal yang terbayang di pikiran saya.
Bila memasuki lingkungan situs, kita dapat menyaksikan batu berbentuk bulat yang terletak di antara akar pohon nan menjulur di situ. Jangan mengira penandatanganan Perjanjian Giyanti yang melibatkan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan perwakilan Kongsi Dagang VOC berada di sebuah pendopo yang mana ada kursi meja ukir nan mewah.
Karena penandatanganan perjanjian tersebut benar-benar dilakukan di atas batuan bulat yang menyerupai meja itu. Luar biasa.
Ada hal tak kalah menarik yang saya dengar dari percakapan saat itu, saya baru tahu Situs Perjanjian Giyanti ini ialah wisata yang dimiliki dan dikelola Daerah Istimewa Yogyakarta namun terletak di Karanganyar.
Begitupun Makam Imogiri di Bantul, kata bapaknya itu objek wisata milik Keraton Surakarta. Jadi ini rasanya seperti berkunjung di daerah wisata satu Jogja tapi lokasinya berada di luar daerah Jogja itu sendiri.
Sebuah informasi yang menarik, saya tak lupa pula saat itu mengabadikan banyak foto di setiap sudut situsnya. Setelah keluar dari area utama situs, saya pun sempat ditanyai beberapa rombongan ibu-ibu di sana.
"Mas kok sampai rela jauh-jauh ke sini? Bagus mas! Jarang lho ada anak seusia mas sekarang yang mau ke situs-situs kayak gini, udah gitu sendirian lagi haha."
Saya langsung menjawab, "bukannya antusias sama sejarah atau apa Bu, emang kadang suka penasaran aja sama tempat-tempat sejarah yang biasanya cuma disebut di buku doang tapi nggak tau gimana bentuknya. Jadi ya langsung ke sini aja, hehe."
Saya merasa tidak enakan saat itu, aslinya tidak ada niat mau meneliti atau dalami sejarah di sana dan murni memenuhi rasa penasaran saja. Tapi takutnya malah disangka antusias. Tidak Bu, intinya saya cuma menghabiskan waktu liburan yang tersisa saja karena bentar lagi masuk kuliah.
Tambah lagi makin nggak enakan ketika hendak membayar bapak penjaga situs sebagai guide wisata, ibu yang tadinya berbincang dan menanyai saya justru malah sekalian membayarkan saya.
"Tadi sudah Ibu bayar, nggak usah bayar lagi Mas. Semangat terus nelusuri sejarah ya!"
Terima kasih atas kebaikannya Bu. Semoga saja Ibu sedang membaca tulisan saya ini. Dan sesuai dengan apa yang Ibu bilang, saya akan terus semangat menelusuri tempat bersejarah untuk menghilangkan rasa penasaran itu. Semua akan menjadi pengalaman yang rancak!
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol