Pulau Bangka juga asyik untuk dinikmati walau di waktu singkat. Mungkin beberapa tempat ini bisa masuk ke daftar kunjungan kamu nanti.
Subuh baru saja berlalu. Muhammad Syaiful Anwar yang karib saya sapa Mas Anwar dan Rafiqa Sari yang sehari-hari saya panggil Uni Sari, tiba di depan rumah yang kami tempati di salah satu perumahan di tepian utara Pangkalpinang. Suara klakson terdengar dari mobil minibus warna putih yang sengaja kami sewa hari itu.
Ya, di pagi yang masih berkabut ini, kami akan melakukan perjalanan lebih dari 100 kilometer menuju Muntok, kota tertua di Pulau Bangka. Jam 9 pagi, sesuai jadwal yang sudah kami susun dan sepakati, kami sudah harus tiba di Desa Belo Laut, desa tujuan kami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agendanya, kami akan melakukan pengabdian dengan melakukan sosialiasi hukum di Desa Belo Laut, salah satu desa yang terkenal akan pempek udangnya di Pulau Bangka. Seraya itu, tentu kami sudah merencanakan bahwa setelah kegiatan, kami akan menikmati Muntok, kota yang identik denga Soekarno, Muhammad Hatta, dan para pejuang kemerdekaan lainnya saat mereka diasingkan di Pulau Bangka.
Oleh sebab itu, kami sudah memutuskan untuk mengingap di Muntok, memesan beberapa kamar hotel di sana. Pelan-pelan, hari semakin terang. Pagi mulai datang, sedangkan malam menyisakan embun yang terlihat mencoba membasahi kaca mobil yang saya kemudikan, menggantikan Mas Anwar yang berpindah ke mobil yang semula dikendarai oleh Pak Dwi.
Usai acara, seraya membawa pempek udang khas desa ini yang diberikan oleh Joni, kami melanjutkan perjalanan menuju pusat Kota Muntok beberapa kilometer saja dari desa ini. Setelah sholat Jum'at di Masjid Baitul Hikmah, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Asmara menikmati nasi kotak yang kami bawa dari tempat acara sebelumnya.
Setelahnya, kami kembali ke pusat Kota Muntok, check in di salah satu hotel di tengah-tengah padatnya Muntok yang khas kota-kota lain yang ada di Pulau Bangka, dikelilingi bangunan yang didominasi oleh sarang burung walet yang menjulang tinggi. Yang harus dicoba di sana adalah otak-otak khas daerah ini yang tersohor karena cocolannya yang asam pedas.
Menurut saya, inilah yang membedakan cita rasa otak-otak di sini dengan otak-otak lain yang ada di Pulau Bangka. Otak-otak ini bisa dijumpai di tepi-tepi pantai yang ada di sekitar Kota Muntok, setelah siang. Harganya Rp 1.000/ butir, baik otak-otak daun maupun otak-otak kulit ikan. Diselingi dengan kelapa muda yang menyegarkan, sajian menjelang sore ini terasa semakin nikmat saja. Tak terasa, puluhan butir otak-otak tandas tak tersisa.
Kami lanjut perjalanan ke Wisma Ranggam atau Pasanggrahan BTW (Banka Tin Winning), salah satu tempat pengasingan Bung Karno dan para pejuang kemerdekaan yang lain saat mereka diasingkan di ujung barat Pulau Bangka. Esoknya, kami mengawali hari di Muntok dengan berjalan kaki mendatangi sebuah warung kopi di salah satu sudut pasar.
Dulu, diajak oleh salah seorang paman dari istri yang kami panggil Papa Alex, saya sempat menyeruput kopi pagi-pagi sekali. Dari sinilah saya mengetahui cita rasa kopi di sini berbeda dari kopi di warung-warung kopi yang sering kami datangi. Oleh sebab itu, pagi itu saya mengajak Pak Dwi dan Mas Anwar mendatangi warung ini, setelah singgah berfoto-foto di salah satu sisi jalan dengan latar belakang Kampung Petenun.
Menjelang siang, sebelum kami kembali ke Pangkalpinang, kami kembali berjalan-jalan di sekitar hotel tempat kami menginap yang memang berada di tengah kota. Lanskap Muntok bercerita tentang sejarah yang menang begitu kental terasa, serta kuatnya toleransi antar umat beragama.
Hal ini bisa dilihat dari bangunan-bangunan yang kami datangi, di antaranya adalah Rumah Mayor China, serta Kelenteng Kong Fuk Miau dan Mesjid Jami yang berdiri berdampingan seolah saling menemani dan menjaga satu sama lain.
Tempat-tempat yang kami kunjungi ini adalah sebagian kecil dari cerita tentang Muntok sang kota tua dengan sejarahnya yang beragam dan penuh dengan cerita dan makna. Ada banyak tempat yang belum sempat kami datangi, dan semoga bisa kami datangi suatu saat nanti. Kami pun kembali ke Pangkalpinang.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum