Welcome d'travelers !

Ayo share cerita pengalaman dan upload photo album travelingmu di sini. Silakan Daftar atau

ADVERTISEMENT

Rabu, 30 Mar 2022 14:56 WIB

D'TRAVELERS STORIES

Menikmati Gatot dan Tiwul di Pelosok Kalimantan, Penjualnya Bule Australia!

Ida Setianingsih
d'Traveler
Suasana Kedai Milik Frederika
Suasana Kedai Milik Frederika
Teh Bunga Telang dengan sedotan batang purun
Teh Bunga Telang dengan sedotan batang purun
Pengunjung meningkat saat akhir pekan
Pengunjung meningkat saat akhir pekan
Kami menyempatkan diri berfoto di depan kedai
Kami menyempatkan diri berfoto di depan kedai
Makan Gatot, Tiwul di teras rumah pemilik Kedai Itah
Makan Gatot, Tiwul di teras rumah pemilik Kedai Itah
Frederika menceritakan konsep Kedai dan Pertanian Permakultur
Frederika menceritakan konsep Kedai dan Pertanian Permakultur
detikTravel Community -

Gatot dan Tiwul biasa kita nikmati di Jawa. Namun ternyata, saya juga menemukannya jauh di pelosok Kalimantan dengan penjualnya seorang bule Australia.

Cerita bermula saat saya dan rombongan berhenti di sebuah warung berdinding bambu dan beratap tikar purun yang diganjal kayu-kayu panjang. Warung itu terletak jauh dari jalan di Bukit Tangkiling yang berjarak 30 Km dari Palangkaraya.

Dari sana kami harus menempuh sekitar 300 meter melintasi semak dan deretan rumah sangat sederhana. Begitu sampai di warung itu, pandangan kami tersita pada deretan kendaraan yang berjajar di seberang warung tersebut, kami juga terpaku pada penuhnya kursi-kursi tempat pengunjung. Ia hanya menyisakan teras kosong tanpa kursi dan alas, di depan sebuah rumah sederhana.

Satu lagu milik Extreme berjudul 'More Than Words' mengalun lembut. Sekilas kesan sebuah kafe lebih terasa dari pada sebuah warung. Mula-mula saya eja nama warung yang ditulis memakai kapur pada papan hitam, Kedai Itah. Nama warungnya diambil dari bahasa Dayak, artinya kedai kita.

Berikutnya saya penasaran mengintip daftar menu yang dijual di warung tersebut. "Warung sederhana dan jauh dari kota, apa sih istimewanya? Yang seperti itu juga banyak sekali di mana-mana." Bukan pernyataan saya tetapi sepertinya pernyataan orang julid.

Mata saya bergeser pada tulisan daftar menu yang ditulis dengan menggunakan kapur warna-warni di atas papan tulis hitam. Persis tulisan Bu Muslimah, gurunya Ikal di Laskar Pelangi. Saya menelusuri satu per satu daftar menu.

Sekali lagi, tidak ada yang istimewa. Tertera di sana gado-gado, nasi jagung, pecel, tiwul, tape ketan hitam, kukis, aneka minuman seperti teh bunga rosella, teh bunga telang, teh kelor, dan lain-lain.

Namun, menu lain yang tidak ditulis di papan adalah gatot. Iya, Anda tidak sedang salah baca, gatot. Ia dipajang di depan jendela besar kasir.

Ternyata tidak terdapat kepiting lada hitam, yang biasanya jadi menu andalan di beberapa tempat di Palangkaraya. Selagi melihat pajangan dagangan yang dibungkus daun pisang dan berjajar di depan meja kasir, tiba-tiba muncul suara dari baliknya.

"Silakan dicatat di kertas semua pesanannya." Saya sedikit terpana bercampur takjub mendengar suara agak sengau serupa aksen Cinta Laura, dari balik meja kasir.

"Apa iya Cinta Laura berjualan gatot dan tiwul di Bukit Tangkiling?" bisik saya perlahan ke telinga kawan seperjalanan saya.

Menyebut dua makanan tersebut, apa yang Anda bayangkan? Ia disajikan pada tampah besar yang terbuat dari anyaman bambu, dijual oleh ibu-ibu berkebaya sederhana di pasar tradisional. Mereka biasanya nyempil di antara para pedagang pasar lainnya. Aroma brownies panggang yang wangi menguar dari dapur.

Selanjutnya, ada seraut wajah serupa Meryl Streep dari balik meja kasir

Hal itu membuat saya semakin penasaran. Saya terus mencari sumber suara Cinta Laura. Ahaii, inilah sumber magnetnya warung sederhana ini. Seraut wajah serupa Meryl Streep melongok dari balik meja kasir. Matanya yang biru, rambutnya coklat, dengan anting unik besar di telinganya.

Entah sekedar melihat si 'Meryl Streep' atau mencicipi tiwul, gatot, ataupun pecelnya. Saya yakin alasan yang ke dua cukup mengada-ada, saya yakin sekali.

Yang jelas hari itu pengunjung lumayan banyak dengan beberapa kendaraan roda empat berjajar di seberang warungnya. Dan seperti kebiasaan warga +62 kalau bertemu bule, serta-merta mengajak selfie lalu mengunggahnya ke media sosial, dengan tambahan kata; Alhamdulillah dapat teman baru dari luar negeri, rezeki anak soleh. He he.

Tidak ada yang salah memang, sebagai bentuk penghormatan ke pada tamu asing. Tampaknya hal itu juga berlaku di Bukit Tangkiling ini.

Saya lihat pengunjung setelah menghabiskan makanannya selalu berpamitan lalu mengajak selfie ' Meryl Streep'. Apakah saya ikutan berfoto bersamanya? Tidak.

Saya tak ingin dikesankan norak, saya punya cara sedikit elegan. Saya agak mendekat lalu berkata, "May I know the concept of your food stall? I am interested to write about you in my next writting."

Cukup elegan bukan? Dia tersenyum. Saya artikan bahwa itu adalah tanda setuju.

Sembari menikmati gado-gado dan teh bunga telang segar yang menggunakan sedotan berbahan batang purun, dia justru yang menghampiri saya serta bercerita panjang tentang konsep kedainya.

Dengan bersemangat dia mengeluarkan sejumlah kliping koran dan majalah yang memuat ihwal dirinya dan suaminya. Ternyata si Meryl Streep itu bernama Frederika, wanita Australia yang menikahi pria Toraja.

Suaminya adalah aktivis permakultur (permanen kultur) di Kalimantan Tengah. Sebuah usaha untuk melestarikan alam dengan mengembalikan unsur hara dan keragaman tanaman.

Suami istri itu getol menggerakkan masyarakat untuk menerapkan permakultur. Salah satu hasil dari usahanya adalah terciptanya menu khusus brownis dengan minyak kelapa.

Minyak kelapa yang dihasilkan juga buah dari didikan mereka ke pada masyarakat sekitar. Dari hasil kebun berupa singkong, masyarakat diberdayakan untuk membuat berbagai olahan makanan yang bisa dititipkan di kedainya.

Lalu, dengan mengusung konsep "Zero Waste", pasangan itu hanya menggunakan sedotan batang purun, bungkus daun pisang untuk makanan berbungkus, serta piring anyaman rotan. Sementara air limbah rumah tangga di alirkan ke kebun yang merupakan laboratorium permakultur miliknya.

Setelah menghabiskan tegukan terakhir teh bunga telang segar yang berwarna merah muda, saya mengajak Frederika untuk selfie. Ya, saya adalah bagian dari warga +62 pada umumnya yang suka berfoto sama turis, hehe.

Sejujurnya rasa gado-gadonya tidak jauh beda dengan yang saya makan di tempat lain. Demikian juga rasa gatotnya juga tidak ada bedanya dengan yang dijual di pasar tradisional. Namun, yang istimewa adalah Frederika dan ketulusannya. Gatot, tiwul dan Frederika adalah paduan dahsyat sebuah pengelolaan lingkungan yang dibarengi niatan tulus untuk mengangkat ekonomi masyarakat.

---

Artikel ini ditulis oleh pembaca detik Travel, Ida Setianingsih. Traveler yang hobi berbagi cerita perjalanan, yuk kirim artikel, foto atau snapshot kepada detikTravel di d'Travelers. Link-nya di sini

BERITA TERKAIT
BACA JUGA