Matahari bergerak semakin rendah di Kathmandu. Sebentar lagi langit senja berubah gulita. Mari napak tilas jejak perjalanan penulis Agustinus Wibowo di Nepal.
Pergelangan kakiku yang kaku mulai terasa mengganggu tepat pada saat aku justru ingin bergegas mengikuti jejaknya. Dia hampir tak melihat langkahku yang terseok-seok di belakangnya.
Perhatiannya selalu tercerap pada berbagai jejak budaya, tradisi dan manusia yang secara acak ditemukannya, lantas dengan cekatan mengarahkan kameranya ke obyek yang menarik perhatiannya itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari itu adalah hari pertama kami tiba di Nepal. Wajar bila adrenalin mengalir sangat kencang. Melihat negeri asing untuk pertama kalinya memang selalu menghadirkan sensasi yang berbeda.
Terlebih Nepal adalah negeri yang kental dengan tradisi, jejak-jejak budaya masa lalu serta aroma pemujaan di setiap sudut kotanya.
Di jalanan Thamel, Kathmandu, Nepal terlihat sangat meriah meskipun jauh dari kata mewah. Sejauh mata memandang, hamparan kuil dan bangunan kuno bertebaran memanjakan mata. Alunan musik riang yang sesekali menghampiri telinga menggoda badan turut bergoyang mengikuti irama.
Aku masih berjalan tertatih, terseok-seok mengikuti langkahnya. Sejak berjalan dari Katmandhu Dhurbar Square tempat kami melihat sekilas penampakkan Dewi Kumari, menuju Kathmandu Guest House, perhentian sementara kami di negeri ini, sebenarnya tak terlalu jauh.
Namun kakiku yang sempat terkilir terasa sakit, sehingga aku berniat untuk kembali ke hotel dengan menumpang rickshaw, becak ala Nepal.
Niatku segera pupus ketika dia mengatakan hendak menyusuri gang-gang eksotis yang menghimpit Katmandhu Durbar Square sekalian hunting foto dalam perjalanan kembali ke hotel.
Aku pun mengikuti jejaknya, berjalan perlahan sambil sesekali meringis karena pergelangan kaki yang terasa teriris. Pengorbanan kecil seperti ini tak menjadi masalah, dibanding pengalaman langka bertualang bersamanya. Di luar dugaan, langkah kakinya terlalu lincah.
Sebentar saja aku sudah tertinggal jauh di belakang. Hanya karena dia sering berhenti untuk memotret saja yang membuatku masih bisa menyusulnya.
Minat utamanya adalah manusia dan budaya, sehingga dia selalu menghentikan langkahnya setiap melihat peristiwa. Tak hanya Thamel, di Phokara, kota lain di Nepal, energi petualangan yang dimilikinya masih sama besarnya.
Aku mengikutinya keluar masuk toko-toko buku tua di Phokara hingga larut malam, mencari buku-buku langka yang menjadi minatnya dan baru berhenti ketika tokonya tutup.
Di sebuah toko buku tua, wajahnya berseri menemukan perangko Bhutan yang langka, lantas dengan gembira memeriksa harganya di katalog perangko dunia dari gawainya.
Sambil melakukan berbagai kegiatan itu, dia sibuk menerangkan panjang lebar sejarah perangko dan Bhutan. Melakukan perjalanan bersamanya membuat aku paham mengapa buku-buku yang ditulisnya tak pernah dangkal.
Dia menyajikan pemikirannya, perasaannya dan pengetahuannya dengan gradasi kedalaman yang membuat orang bisa mengambil manfaat dari ketekunannya.
Dia adalah Agustinus Wibowo, manusia unik dengan banyak talenta dan keuletan luar biasa. Penulis buku laris yang membuat aku meringis, teringat pergelangan kakiku sendiri yang rasanya kian teriris, tak kuat menjajari langkah panjangnya, "aduh, kakiku... "
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol