Gunung Titlis, yang puncaknya selalu diselimuti salju itu adalah destinasi yang jarang dilewatkan oleh turis yang berasal dari negeri tropis, termasuk saya, ketika berada di Swiss.
Merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Alpen, Gunung Titlis berada pada ketinggian lebih dari 3.020 meter di atas permukaan laut.
Saya bersama rombongan berangkat ke Gunung Titlis dari Lucerne, seusai melihat jembatan kayu tertua di Eropa, menuju Engelberg yang jaraknya sekitar 35 km saja.
Saya tiba di pedesaan yang terletak di lembah Pegunungan Alpen itu pada pukul tiga sore waktu setempat. Waktu yang tersisa menjadi sangat terbatas karena cable car untuk menuju puncak bersalju Gunung Titlis hanya beroperasi sampai pukul lima sore saja.
Akhirnya diputuskan untuk kembali lagi keesokan harinya supaya lebih puas bermain salju. Lagi pula, biaya untuk naik cable car cukup mahal, sebesar CHF 96 yang apabila dihitung dengan kurs 1 Franc Swiss setara 17.757,29 rupiah akan menjadi lebih dari Rp 1,7 juta per orang untuk perjalanan pulang pergi.
Sayang sekali kalau dilakukan dengan terburu-buru, bukan? Untuk mengisi waktu karena tidak jadi naik cable car, sore itu saya mengelilingi pedesaan yang indah di lembah Pegunungan Alpen.
Desain bangunan-bangunan kayunya sangat menarik. Ada sungai yang membelah bukit, dan padang berumput hijau yang luas serta sapi-sapi berkulit belang hitam putih yang tengah merumput, membuat pemandangan di lembah Alpen sore itu terlihat sangat mirip dengan lukisan.
Keesokan pagi, setelah beristirahat semalam, akhirnya saya bersama rombongan berhasil naik ke puncak bersalju Gunung Titlis.
Suhu yang berkisar di bawah nol derajat tidak terlalu mengganggu saya, karena sesampainya di sana, saya segera terdistraksi dengan pemandangan puncak-puncak bukit berselimut es yang indah sekali di sekeliling saya.
Ada sedikit rasa ngeri ketika membayangkan tebing-tebing curam di bawah kaki, dalam perjalanan dengan cable car. Telepon genggam saya sempat terjatuh di cable car dan wajah saya menjadi pucat pasi karenanya.
Untung hanya terselip di sela kursi dan tidak sampai terhempas di tebing curam berselimut salju itu.
Puncak Gunung Titlis saat itu sudah cukup ramai ketika saya tiba dan matahari bersinar terang. Meski tak bisa menghalau dingin, paling tidak kehadiran matahari di tempat berselimut salju seperti itu bagi saya terasa menenangkan.
Ada ilusi kehangatan dari pancaran sinarnya, meskipun sebenarnya udara tetap sama dinginnya. Ternyata berjalan di jalanan berselimut salju yang sudah mengeras itu tidak mudah.
Beberapa kali saya sempat tergelincir dan jatuh di atas es batu yang licin. Namun tak masalah. Saya masih sempat bermain salju yang serupa es serut di sana.
Karena banyak juga turis lain yang baru pertama kali bertemu dengan salju, rasanya perilaku kegirangan seperti anak kecil mendapat mainan baru masih bisa dimaafkan di puncak Gunung Titlis.
Salah seorang teman saya dengan antusias membuka sepatu dan sengaja menginjak salju dengan kaki telanjang, mengabaikan dinginnya es di telapak kakinya yang membekukan tulang.
Sementara teman saya yang lain sengaja membasuh wajah dengan serpihan salju dan menjilatinya seperti tengah makan es krim.
Namun perilaku yang paling heboh berasal dari sekelompok turis dari India yang membuat video dengan tarian khas negeri mereka lengkap dengan alunan musiknya yang ceria itu di atas salju. Seru!
(msl/msl)