Masjid Jami' Al Ma'mur Cikini, masjid peninggalan era Raden Saleh. Masjid ini memiliki sejarah panjang dan kini menjadi cagar budaya.
Masjid Jami' Al Ma'mur merupakan masjid bersejarah yang berada di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Masjid ini eksis selama ratusan tahun, sejak era Hindia Belanda hingga saat ini.
Merujuk Dinas Kebudayaan Jakarta, sejarah Masjid Jami Al Ma'mur dibangun sejak akhir abad ke-19, tepatnya pada 1890 oleh maestro pelukis Indonesia, Raden Saleh Syarif Bustaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun pada monumen yang terdapat di masjid tersebut, tertulis masjid ini selesai dibangun pada tahun 1932. Awalnya, masjid ini merupakan sebuah surau sederhana yang berada di kediaman Raden Saleh, tepatnya di sekitar Rumah Sakit Cikini saat ini.
Kemudian, masjid ini dipindahkan ke daerah yang sekarang beralamat di Jl. Raden Saleh Raya No.30, Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Masjid ini dipindahkan karena tanah kepunyaan Raden Saleh yang sebelumnya ditempati surau di kemudian hari dibangun Rumah Sakit dan Gereja oleh Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini (Yayasan ratu Emma).
"Pada tahun 1890 masjidnya dipindahkan ke area ini, karena kawasan di sana ingin dibangun Rumah Sakit dan Gereja oleh Yayasan Emma (YayasanStichtingMedischeVoorzieningKoningen EmmaZiekenhuisTjikini) yang telah membeli tanah," kata Ketua DKM Masjid Jami' Al Ma'mur Cikini, H. Syahlan, kepada detikTravel, Sabtu (1/3/2023).
Pemindahan surau ini juga unik, karena dilakukan dengan digotong ramai-ramai oleh para masyarakat.
"Seperti kayak tandu, kayak kurung batang itu digotong ramai-ramai. Setelah gotong di sini, dijadikan musala biasa tapi tidak besar," dia menjelaskan.
Namun karena musala itu sudah tidak bisa menampung banyaknya jemaah yang semakin banyak maka dilakukan pembangunan menjadi masjid. Pembangunannya pun dilakukan kolektif dan swasembada oleh masyarakat sekitar.
"Antiknya masyarakat Raden Saleh 2 atau Cikini Binatu itu diwajibkan bagi masyarakat yang beragama Islam, diwajibkan menaruh kaleng susu di rumahnya masing-masing, diikat dengan kawat dan ditutup dengan seng atau genteng supaya tidak kena hujan," katanya.
Kaleng susu ini nantinya jadi wadah untuk masyarakat menyumbang ke masjid dalam bentuk beras.
"Tujuannya supaya ibu-ibu atau bapak-bapak lagi mau masak untuk keluarganya, misalnya satu hari masak 1,5 liter atau 2 liter, itu diambil satu rauk untuk dimasukkan ke kaleng itu," Syahlan menambahkan.
Kemudian, beras yang ditaruh pada kaleng susu itu dikumpulkan oleh para pemuda. Oleh pemuda beras dijual dan dijadikan modal dalam membeli bahan bangunan untuk masjid.
"Nanti pemuda-pemuda itu dalam satu minggu atau tiga hari sekali ngambil beras itu, dikumpulkan di sini. Nanti hasil dari penjualan beras dibelikan batu bata, kapur, pasir, dan genteng," kata dia.
Tanpa Arsitektur
Yang unik dari pembangunan masjid ini menurut Syahlan adalah dilakukan tanpa adanya seorang arsitek ataupun insinyur. Walau begitu, bangunan masjid itu cukup mempesona.
Namun sengketa lahan kembali memanas sesaat setelah Indonesia merdeka. Saat itu, Kementerian Agraria RI menerbitkan SK hak milik rumah sakit atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Peristiwa itu memaksa berbagai pihak, termasuk pemerintah DKI Jakarta dan pengurus masjid untuk melakukan perundingan. Hingga akhirnya proses sengketa lahan terselesaikan pada 1991. Lahan masjid dikembalikan kepada pihak semula yakni Yayasan Masjid Al Makmur.
Ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Masjid Jami' Al Ma'mur saat ini sudah menjadi cagar budaya, yang artinya otentisitas bangunan ini akan tetap terjaga. Arsitektur bangunan yang terjaga yakni seperti ukiran kayu yang masih dipertahankan. Selain itu, terdapat juga beberapa ubin yang ada di bagian tengah masjid yang masih otentik.
"Ada juga ubin ini yang asli sejak awal dibangun, tapi ada juga yang tambahan. Karena setelah ratusan tahun ada yang pecah-pecah, akhirnya diambil inisiatif sama cagar budaya dan pengurus masjid, jadi yang aslinya ini tidak dibongkar," kata dia.
Dengan sejarah Jami' Al Ma'mur Cikini yang panjang itu, saat ini bangunan tersebut telah diresmikan sebagai cagar budaya oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999.
(wkn/fem)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Menpar Widiyanti Disentil soal Pacu Jalur, Dinilai Tak Peka Momentum Untungkan RI
Status Global Geopark Danau Toba di Ujung Tanduk