Pembangunan Rumah Tradisional Suku Mbojo yang Tak Biasa

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Pembangunan Rumah Tradisional Suku Mbojo yang Tak Biasa

Harianto Nukman - detikTravel
Sabtu, 22 Sep 2018 22:50 WIB
Model rumah panggung masyarakat Bima, NTB (Alan Malingi/istimewa)
Bima - Traveler yang liburan di Kabupaten Bima, sempatkan bertemu dan melihat langsung rumah tradisional Suku Mbojo. Ada cerita menarik di balik pembangunannya.

Suku Mbojo di Bima, Nusa Tenggara Barat, menjadikan tempat tinggal sebagai kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Bagi mereka, memilih seorang arsitek dan konstruksi ruang dalam membangun rumah sangat penting untuk diperhatikan.

Rumah atau dalam bahasa Bima disebut uma ngge'e kai merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan berkeluarga. Karena itu, bagi masyarakat Bima, membangun rumah harus memilih Panggita, arsitek berpengalaman dan berakhlak mulia atau loa ra tingi dalam istilah bahasa Bima.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang Panggita juga harus memahami Sasato, yakni sifat atau pribadi si pemilik yang akan dibuatkan rumah. Bentuk dan ukuran dalam tata ruangnya harus disesuaikan dengan sifat dan kepribadian si pemilik rumah.

"Seorang Panggita tidak hanya dikenal dalam pembuatan dan pembangunan rumah, Panggita juga dikenal dalam pembuatan kapal dan upacara Kalondo Lopi atau menurunkan perahu ke laut, seperti ritual yang ada di Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima," terang Alan Malingi yang dihubungi detikTravel, Jumat (21/9/2018).

(Alan Malingi/istimewa)(Alan Malingi/istimewa)
Menurut Alan, seorang Panggita adalah tokoh yang dianggap berperan dalam kegiatan gotong-royong pemindahan rumah panggung warga. Hingga saat ini, keturunan Panggita masih banyak terdapat di berbagai desa dan kampung yang ada di Bima.

"Panggita adalah keturunan ahli dalam pembangunan rumah. Biasanya seorang Panggita menurunkan ilmunya kepada anak dan keturunannya," kata Alan, aktivis kebudayaan masyarakat Bima.

Ada beberapa hal yang dilihat oleh seorang Panggita dalam memulai pembangunan rumah. Pertama sebuah rumah tidak boleh berhadapan dengan jalan bercabang tiga. Artinya rumah tidak boleh berada tepat di persimpangan.

Hal ini diyakini akan menyebabkan penghuninya selalu sakit dan kehidupannya tidak akan berkembang baik. Kedua, pintu rumah harus menghadap ke arah gang atau jalan agar rumah terlihat selalu terbuka untuk para tamu.

Ketiga, pintu rumah dengan pintu pagar depan tidak boleh lurus atau satu arah. Hal ini diyakini agar penyakit dan bala tidak langsung masuk ke dalam rumah. Di samping itu, orang tidak akan dapat melihat langsung aktivitas di dalam rumah.

Ke empat, ukuran pintu rumah harus lebar melebihi ukuran keranda atau Salence untuk pengurusan jenazah. Kelima, rumah tidak boleh terlalu dekat membelakangi sungai atau lereng perbukitan. Hal ini dilakukan sebagai model mitigasi bencana.

Sebelum membangun rumah, seorang Panggita memilih batu datar untuk ditempatkan tiang rumah. Lalu seorang Panggita melantunkan doa dan mantra yang disaksikan oleh warga. Setelah itu dimulailah pembangunan rumah yang ditandai penyembelihan hewan ternak seperti ayam dan kambing.

Peran Panggita sesungguhnya sudah berlangsung lama, sejak peradaban Uma Lengge ada. Uma Lengge adalah sebutan bentuk rumah tradisional yang ada di Bima. Beberapa model contoh Uma Lengge dapat ditemui di beberapa desa yang ada di Kabupaten Bima, seperti di Desa Sambori, Kuta, Wawo, Donggo, dan desa-desa tradisional lainnya di Bima.

(Alan Malingi/istimewa)(Alan Malingi/istimewa)
Misalnya di Desa Sambori, setelah tuntas pembangunan Lengge, dilakukan upacara Marhaban, yang berarti menyambut rumah baru. Lengge adalah seni arsitektur awal dalam peradaban Mbojo sebelum masuk pengaruh arsitektur Uma Panggu atau rumah panggung pengaruh Bugis Makassar.

Contoh lain di Desa Parado Wane, Kabupaten Bima, ada upacara khusus untuk membuka atau mengunci pintu rumah baru atau dikenal dengan istilah upacara Wole Uma yang dilakukan oleh Panggita.

Selain bahan baku dan konstruksi rumah sangat menentukan, diyakini juga air sisa rendaman saat upacara Wole Uma dibagi-bagikan kepada warga tetangga. Air rendaman diyakini sebagai obat kuat terutama untuk menyembuhkan lutut dan persendian.

"Ritual-rutual seperti itu masih sangat kental dilakukan beberapa tahun lalu. Besar kemungkinan ritual-ritual itu adalah warisan pra-Islam masuk ke Bima. Wallahualam," ungkap Muktamirin, warga Bima.

BACA JUGA: Inspiratif! Suku Mbojo di Bima Punya Tradisi Lestarikan Sumber Air

Namun demikian, menurut Alan, bahan pohon kayu yang digunakan untuk konstruksi rumah merupakan kayu pilihan dan enzimnya berkhasiat sebagai ramuan obat, contohmya enzim kayu akasia.

Nilai-nilai kearifan lokal dalam membangun rumah di masyarakat Bima cukup baik untuk diperhatikan, karena diakui oleh Alan, rumah tempat tinggal juga berhubungan dengan harmonisasi alam, yaitu hubungan manusia dengan lingkungan sekitar dan hubungan manusia dengan sesama.

Nah, masyarakat di NTB perlu mengambil hikmah dari kearifan lokal warga di Bima, terlebih daratan tanah di NTB rentan terjadinya fenomena alam seperti gempa bumi, banjir, longsor, gunung meletus, dan bencana alam lainnya.


Simak Juga 'Meneladani Falsafah Huma Betang ala Suku Dayak':

[Gambas:Video 20detik]

(rdy/krn)

Hide Ads