Raja Ampat, Papua Barat dikenal sebagai jantung Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle). Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati karang tertinggi di dunia.
Perairan di utara yang bersentuhan dengan Samudera Pasifik, Laut Seram di barat dan di selatan dengan Laut Banda, seluruhnya masuk dalam cakupan Segitiga Karang Dunia.
Di terumbu karang yang kaya itu, hiduplah 1.427 jenis ikan karang. Kepulauan Raja Ampat juga didiami 15 jenis mamalia laut, 14 jenis cetacea (paus dan lumba-lumba) dan duyung (Dugong dugong).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paus sperma (Physeter macrocephalus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah dua jenis cetacea yang sering ditemukan di perairan Raja Ampat. Hiu merangkak di dasar perairan, walking shark (Hemiscyllium freycineti) juga ada di sini.
Selain kekayaan biota lautnya, Raja Ampat juga memiliki hamparan hutan hujan tropis dengan fauna endemik seperti kuskus Waigeo (Spilocuscus papuensis), cenderawasih merah (Paradisaea rubra) dan cenderawasih botak (Cacinnurus resplubica).
Sepanjang abad ke-18 hingga 19, para naturalis atau ahli ilmu alam dari Eropa berlomba-lomba menjelajahi Raja Ampat, dengan harapan mengumpulkan dan menemukan flora dan fauna baru kemudian diberi nama saintifik sesuai keinginan mereka.
William Dampier, seorang Inggris melakukan ekspedisi di kawasan Papua bagian barat dan sekitarnya pada tahun 1760-an. Dampier kemudian diabadikan sebagai nama selat di antara Pulau Batanta dengan Pulau Waigeo, Raja Ampat.
Pada tahun 1860 Alfred Russel Wallace, teman baik Charles Darwin, mengunjungi Waigeo dan tinggal di sana sambil mengamati burung cenderawasih dan kehidupan masyarakatnya. Catatan Wallace selama tinggal di Waigeo dipublikasikan pada 1869 dalam bukunya yang berjudul The Malay Archipelago.
Jauh sebelum itu, pada masa prasejarah, kawasan Raja Ampat sudah dihuni pelaut prasejarah, dengan perahu mereka berlayar dari pulau satu ke pulau lainnya.
![]() |
Jejak-jejak mereka dapat dilihat pada lubang-lubang karang yang terdapat gambar-gambar prasejarah yang ditorehkan di dinding karst Misool. Gambar-gambar disesuaikan dengan bidang gambar yang tersedia di dinding karst sebagai kanvasnya.
Objek lukisan yaitu telapak tangan, ikan, fauna air dan bentuk-bentuk ilustratif lainnya. Teknik menggambarnya yaitu ikan ditempelkan di dinding kemudian disemburkan pewarna merah atau dengan cara menorehkan pewarna untuk menggambar berbagai objek.
---
Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum