Kota Kembang alias Bandung mencuri perhatian sejak dulu. Buktinya, banyak pesohor memiliki kisah mendalam dengan Bandung.
Pagi itu jalan Asia-Afrika terasa teduh. Matahari masih bersembunyi di balik awan. Udara sejuk, tidak gerah sama sekali.
Sudah begitu, tidak terlalu ramai lalu-lalang orang. Boleh dibilang di Sabtu (12/6/2021) pagi itu, jalan Asia Afrika lengang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikTravel yang sudah janjian untuk ikut dalam private walk tour dari Cerita Bandung pun merasa tidak salah pilih waktu. Operator walk tour alias tur dengan jalan kaki menjelajahi sebuah area di Bandung ini mengajak siapa saja yang mau tahu tentang Kota Kembang menjanjikan rute yang asyik. Temanya, The Original Bandung.
Kita buktikan yuk seasyik apa...
Tur dimulai dari titik 0 KM Bandung di jalan Asia Afrika. Di depan tugu ini, Mamat, pemandu dari Cerita Bandung menunggu teman-teman yang ikut sembari perkenalan. Usai perkenalan, Mamat membawa rombongan untuk memasuki Bandung dalam cerita tempo dulu.
![]() |
Baca juga: Sabtu Pagi di Jalan Asia-Afrika Bandung |
"Kita mulai dari Hotel Preanger. Awalnya, Preanger adalah toko perkebunan. Dulu para pengusaha perkebunan masuk ke Bandung dengan nama Preanger Planter," ujar Mamat mulai bercerita.
Preanger Planter adalah kumpulan pengusaha-pengusaha perkebunan yang adalah keluarga-keluarga kaya dari Belanda. Preanger berdiri sebagai penyuplai alat-alat perkebunan.
Saat itu, Bandung memang masih didominasi hutan hijau dan belum ada kendaraan. Sehingga, para pemilik perkebunan yang turun gunung biasanya akan singgah ke Preanger untuk beristirahat sembari membeli kebutuhan kebun.
"Karena kendaraan susah dan selalu menginap di sana, akhirnya Preanger menjadi hotel atas usulan warga," dia menjelaskan.
Di sebelah Hotel Preanger ada titik 0 KM Bandung. Di sinilah tugu dan patung pendiri Kota Bandung diabadikan.
"Saat itu, Belanda memerintah Deandels untuk menjaga perkebunan dari penjajahan Inggris. Dulu ibukota Bandung di Dayeuhkolot, kemudian Belanda ingin memindahkannya ke Cipaganti, tapi Deandels memindahkannya ke sini," dia menjelaskan.
![]() |
Bandung kala itu masih kabupaten dan dipimpin oleh Bupati R.A Wiranatahkusumah II. Deandels yang jatuh hati pada Kabupaten Bandung meminta Wiranatahkusumah untuk membangun sebuah kota di sana. Titik 0 KM adalah tempat Deandels berdiri saat memintanya.
"Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota. Itulah kata-kata Deandels kepada Wiranatahkusumah," ujar Mamat.
Kata-kata ini tertulis di bawah patung Deandels dan Wiranatahkusumah. Sayangnya, Deandels tak pernah kembali ke Indonesia dan tak pernah melihat kota yang dimintanya.
Hotel Savoy Homann
Berjalan sedikit, kami dibawa ke hadapan Hotel Savoy Homann. Dulunya jalan itu bernama Grote Postweg. Mamat memperlihatkan foto Grote Postweg di tahun 1912 yang sangat asri. Jalanan masih sepi dan hijau.
Hotel Savoy Homann dulunya memang penginapan yang dimiliki oleh keluarga kaya bernama Homann. Mereka pindah dari Jerman ke Bandung tahun 1870.
"Ada cerita menarik di sana, dulu Charlie Chaplin pernah ke Bandung bersama pacarnya Mary Pickword. Karena massa yang berkumpul untuk melihat Charlie, akhirnya Charlie menyewa seorang seniman Bandung untuk menjadi dirinya. Sementara dia pergi ke Garut bersama pacarnya," kata Mamat.
Savoy Homann juga menjadi saksi sejarah penting Indonesia. Hotel ini menjadi tempat menginap dari tiga petinggi penting dunia; dari Indonesia, India dan Mesir.
"Selain itu, dulu juga tiga raja Thailand pernah datang ke Bandung untuk bertapa. Mereka adalah King Chulalongkorn, King Prajadhipok dan King Bhumibol Adulyadej. Para sultan dari Jawa pun kerap datang ke Bandung," ujarnya.
Tak tahu ada daya magis apa, namun sejak dulu Bandung memang sudah jago bikin siapa pun jatuh cinta.
Gedung Pikiran Rakyat
Perjalanan masih berlanjut ke Gedung Pikiran Rakyat. Sebelum jadi tempat percetakan media, gedung ini adalah showroom mobil-mobil mewah.
"Di depan sini ada mesin tik Pikiran Rakyat. mesin tik ini membantu perkembangan pers saat itu. Dari yang 200 ribu cetakan per hari bisa jadi 25 ribu per jam," kata Mamat.
Pindah tempat, Mamat bercerita tentang bangunan paling populer di Bandung saat itu, The Vreis, sebuah bangunan di depan Gedung KAA. Dulunya ini adalah tempat nongkrong kawanan sosialita elite. Sosialiata seperti pengusaha sampai para pejabat datang ke sini
Namun The Vries beralih fungsi menjadi toko serba ada pertama Bandung. Para sosialita kemudian pindah gedung KAA, dengan nama Societeit Concordia. Mereka melanjutkan aksi sosialita di sana.
"Cerita lucu adalah ketika para sosialita di Concordia sedang berpesta. Mereka kehabisan minuman dan nekat masuk ke The Vries," kata Mamat.
"Dari sana, mereka mengambil beberapa botol alkohol dan meninggalkan segepok uang serta catatan yang mengatakan bahwa mereka yang mengambilnya. Kalau dihitung-hitung uang yang ditinggalkan lebih banyak dari harga asli minumannya," dia menambahkan.
![]() |
Gedung KAA
Perjalan berlanjut melewati Gedung KAA, Lido, dan Jiwasraya. Cerita kemeriahan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang bersejarah tercatat lewat banyaknya massa yang menyemut di antara gedung-gedung ini.
Patok bersejarah Bandung Lautan Api juga ada di sana. Dulu para pejuang mengambil alih bagian selatan Bandung dan Belanda di sebelah utara. Di depan patok tersebut, kami bernyanyi lagu Bandung Lautan Api.
Tak terasa, air mata jatuh begitu saja. Semangat pejuang ternyata sangat terasa walau hanya lewat lagu saja.
"Kita berjalan ke Alun-alun. Ciri khas sebuah kota itu terlihat dari tiga hal yaitu alun-alun, penjara dan pusat pemerintahan," kata Mamat sambil berjalan.
Di bawah pepohonan di pinggir alun-alun, Mamat bercerita tentang kawasan tersebut. Ternyata dulu Masjid Agung Bandung bernama Si Bale Nyuncung. Nama ini diberikan sesuai dengan bentuk bangunan atapnya yang lancip ke atas.
Di seberang dulunya adalah kawasan bioskop bernama Elita. Bandung yang kini jadi kawasan wisata dulunya adalah tempat hidup pada sosialita Belanda. Di bioskop ini, sosialita nongkrong dan nonton. Ajang cari jodoh pun dilakukan di sana.
Tak terhenti di sana, kami masih dibawa ke pendopo dan makam Bupati R.A Wiranatahkusumah II. Jauh dari kata mewah, makam Wiranatahkusumah justru berada di gang kecil, di dalam komplek pemakaman belakang Masjid Agung.
![]() |
Dari gang kecil di sekat makam, kami kembali diajak untuk melihat sisi lain Bandung. Memasuki pasar, Mamat bercerita bahwa kawasan ini memang sudah jadi pasar sejak dulu.
Mengarah ke Kantor Pos Bandung, Mamat bercerita tentang bangunan Dezon. Dezon dalam bahasa Belanda adalah matahari. Tempat ini menjadi kawasan penyamaran orang Jepang yang membuka toko untuk mendapatkan informasi tentang Belanda.
"Di pasar semua informasi bisa ditemukan. Ini mengapa rahasia Belanda selalu ketahuan oleh Jepang. Jepang menyamar sebagai toko-toko China di depan area Kantor Pos," dia menjelaskan.
Kami menyeberang ke Kantor Pos, masuk ke Jalan Banceuy. Nama Banceuy memiliki arti instalasi kuda. Ya, dulunya ada sebuah instalasi kuda di sana. Tempat ini menjadi peristirahatan kuda-kuda kantor pos dan perkebunan yang saat itu jadi alat transportasi. Sampai sekarang, kamu masih bisa kok melihat instalasi kudanya.
Perjalanan terakhir adalah Lapas Banceuy. Di sini kami diajak untuk melihat penjara Presiden Soekarno. Sayang, lapasnya sudah tidak ada, yang disisakan hanya sel Soekarno saja.
"Selain yang sel ini, hanya ada satu menara jaga yang sisakan. Lapasnya dipindahkan ke Sukamiskin," kata Mamat.
![]() |
Sebelum mengakhiri perjalanan, Mamat membawa kami ke menara pandang yang tersisa. Menara tersebut terlihat lebih pendek dari bayangan menara lapas pada umumnya. Ini membuat kami bertanya-tanya.
"Iya, ini memang jadi lebih pendek karena ada peninggian jalan. Karena kalau menaranya cuma setinggi ini, yang dipenjara bisa kabur dong," ujar Mamat berkelakar.
(bnl/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!