Pariwisata, salah satu sumber cuan bagi warga Desa Tenganan Pegringsingan. Tetapi, pernah juga mengalami mati suri akibat pandemi Covid-19. Sampai-sampai suasananya seperti dulu kala, bukan seperti desa wisata.
Desa yang terletak di ujung timur pulau Bali tepatnya di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem itu tidak pernah sepi dari wisatawan. Baik turis asing maupun lokal dibuat takjub dengan budaya dari Desa Tenganan. Terlebih ketika musim liburan tiba, desa ini akan semakin ramai.
Namun, seperti kebanyakan destinasi wisata lainnya, Desa Tenganan tak memiliki cukup kekuatan untuk menahan dampak dari pandemi Covid-19. Suasana desa berubah drastis bak mati suri.
Kewajiban dalam membatasi kegiatan pariwisata bahkan hingga melakukan isolasi memberikan dampak yang besar. Jalanan desa menjadi lengang dan sepi akan wisatawan.
Tamping Takon Tebenan Desa Tenganan I Putu Suarjana menyebut saat pandemi Covid-19, suasana Desa Tenganan bak kembali ke zaman dulu. Hanya warga desa yang sesekali terlihat di jalan desa.
"Kalau kita di Desa Tenganan, Corona memang berdampak pada pariwisata. Kondisinya seperti zaman dulu, cuma kita saja yang berkeliaran. Orang luar kami tutup, takut membawa Corona," kata I Putu Suarjana.
Sejak Desa Tenganan membuka pariwisatanya pada 1970-an, masyarakat memiliki ladang cuan dengan berdagang souvenir dan kain khas Tenganan. Namun, ketika pandemi melanda, para pedagang terpaksa harus menutup usahanya.
"Hampir dua tahun kita tutup akses orang luar. Banyak masyarakat juga yang tinggal di kota itu pulang ke Tenganan karena sudah tidak bekerja. Warga juga beralih menjadi petani dan ke kebun sambil olahraga. Mata pencaharian kami sebenarnya petani pemilik, jadi waktu Corona ya kami ikut terjun ke sawah sambil olahraga," kata I Putu Suarjana.
Meski menutup diri dari jangkauan wisatawan, menurut I Putu Suarjana, warga Desa Tenganan tak pernah menghentikan kegiatan upacara adat yang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Hal ini juga diyakini dapat mengantisipasi virus Corona yang dilakukan secara sekala dan niskala melalui kegiatan upacara adat.
"Walau di luar hampir semua masyarakat tidak melakukan kegiatan upacara, di sini tetap jalan. Salah satu antisipasi Corona itu secara sekala dan niskala. Cuma kita membatasi jumlah warga yang berpartisipasi," ujar I Putu Suarjana.
Tradisi turun temurun yang biasanya menjadi daya tarik wisatawan, seperti perang pandan masih tetap dilakukan meski tak ada wisatawan.
"Perang pandan tetap dilakukan, cuma kita membatasi penonton dari luar, saya tutup juga. Kita laksanakan hanya khusus untuk warga lokal saja. Karena itu bentuk upacara adat sebagai permohonan kita untuk keamanan dan kesehatan," ujar I Putu Suarjana.
Simak Video "Video Sensasi Makan di Warung Sambil Lihat Aneka Satwa dari Dekat"
(fem/fem)