Rumah Pesik langsung membetot mata karena begitu megah, tetapi berada di antara bangunan tua dalam gang sempit di Kotagede, Yogyakarta. Bagaimana bangunan semewah itu berada di sana?
Keberadaannya tidak sulit ditemukan dengan tembok luarnya yang berwarna hijau menyala. Bangunannya unik dengan penggabungan antara arsitektur Jawa, Thailand, Eropa, dan Yunani dengan wajah sebagai kafe, hotel, dan mini museum.
Rumah Pesik itu kini menjadi salah satu rujukan destinasi wisata terlebih jika mengunjungi Kotagede. Kini, rumah itu juga dijadikan penginapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain bangunannya yang megah, rumah atau penginapan itu mencolok karena beragam tanaman dan patung-patung berukuran besar di halaman.
Wisatawan bergantian keluar masuk Rumah Pesik. Untuk sekadar foto-foto atau nongkrong atau ada pula yang menginap di sana.
Dulu bangunan itu sama sekali tidak diniatkan untuk dipergunakan sebagai hotel, apalagi destinasi wisata.
Baca juga: Ternyata Ada Cagar Budaya UGM di Kota Gede |
Ternyata ada cerita panjang rumah megah itu dibangun di sana. Berikut kisahnya.
Rumah Persik awalnya adalah rumah tinggal milik pengusaha DHL Indonesia, Rudy J. Pesik. Dia juga pernah menjabat sebagai dirjen di Kementerian Industri Kemaritiman saat periode Presiden Sukarno. Dia sosok penting dalam pengembangan IT di Pertamina.
Menurut Roky, putra Rudy, dalam catatan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Geomansi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang berbincang langsung dengannya alasan rumah itu dibangun di sana terkuak. Ternyata, rumah Pesik termasuk dari bagian rumah kalang.
"Termasuk dari bagian rumah kalang, kalau orang di daerah sini disebutnya rumah kalang, orang yang pandai dagang. Jadi bangunan aslinya rumah kalang sudah lebih dari 100 tahun," kata Roky dalam perbincangan dengan detikTravel.
Rumah Pesik itu kini difungsikan sebagai mini museum yang menyimpan koleksi barang-barang antik Rudy mulai dari keris hingga arca. Bentuknya masih dipertahankan seperti pertama kali rumah itu di beli.
Roky mengungkapkan sebelum dibeli oleh ayahnya, rumah itu adalah milik sepasang suami istri Amerika-Indonesia. Sang suami adalah orang Amerika sekaligus teman Rudy.
Singkat cerita, rumah itu harus dijual dan jatuhlah kepemilikannya kepada Rudy J. Persik. Akhirnya, rumah tersebut diberi nama Rumah Pesik yang diambil dari nama belakang Rudy.
Di awal pembangunannya, rumah itu hanya difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga besar Rudy dan rekan-rekannya jika berkunjung ke Jogja.
"Secara arsitektur agak berantakan, kami aslinya hanya beli bangunan utamanya saja. Kalau yang bagian lain itu baru 20-25 tahun lah. Bertahap, karena kan kami belinya juga tidak sekaligus semua tanahnya," kata Roky.
Bangunan selain rumah kalang yang kini menjadi mini museum adalah bangunan tambahan yang didirikan langsung oleh keluarga Rudy.
Bersama dengan 44 pemahat, pengerjaan dimulai dengan ide dasar rumah Joglo. Perpaduan Eropa dan Thailand memiliki makna personal. Rudy telah lama tinggal di Eropa sedangkan Thailand bak rumah kedua bagi keluarga Rudy.
Berbicara tentang Thailand, Rudy adalah salah satu tokoh yang pernah mendapat penghargaan dari Kerajaan Thailand atas kontribusinya di bidang IT.
"Dulu awalnya kami bisnis IT. Perusahaan IT yang pertama kali menterjemahkan komputer ke aksara Thailand. Dari situ Rudy mendapat penghargaan dari Kerajaan Thailand," kata Roky.
Pembangunan Rumah Pesik mengikuti hobi Rudy sebagai kolektor barang antik. Keseluruhan ornamen adalah milik Rudy yang sudah ia kumpulkan sejak awal tahun 1980-an. Keris dan kayu menjadi seni yang paling menonjol karena dinilai sebagai barang antik yang paling berharga.
"Kalau ditanya barang antik apa yang paling berharga dari Indonesia, itu pertama keris, kedua kayu besar. Karena keris itu dibuat pada ratusan tahun lalu, kalaupun baru, akan berbeda dari aslinya. Kalau kayu karena suatu saat nanti pohon-pohon akan dilarang ditebang, yang sudah jadi suatu produk kayu besar. Jadi, itu sebabnya rumah ini banyak keris dan kayu," kata Roky.
Kesukaan Rudy terhadap barang antik dimulai ketika dirinya tinggal di Belanda setelah lulus kuliah di tahun 1964. Di sana ia diberi hadiah tempat garam antik oleh orang yang dianggap bak "ayah angkat".
Ya, garam merupakan penyedap utama dan satu-satunya di Eropa kala itu, sehingga kepemilikan tempat garam, apalagi antik sangatlah berharga. Namun, reaksi Rudy terlihat biasa saja hingga sang ayah angkat menyebutnya sebagai bangsa yang tidak menghargai budaya.
Kesan atas ucapan tersebut membekas di hati Rudy hingga memantapkan hatinya untuk menjadi kolektor barang antik hingga sekarang.
"Dulu ada pertanyaan, kenapa orang indonesia tidak menghargai antik? karena Indonesia tidak makmur, nanti ketika Indonesia sudah makmur, tidak hanya mikirin perut, rumah, pakaian, baru bangsa kamu akan menghargai barang antik," kata Roky.
Roky kembali menuturkan bahwa Rumah Pesik akhirnya dikomersilkan menjadi kafe dan hotel diperuntukkan sebagai upaya mengenalkan budaya bangsa.
"Karena memang marketnya memang kalangan atas. Karena, kalau dilepas murah, orang-orang yang datang takutnya orang yang tidak menghargai seni, peninggalan sejarah, jual mahal nggak ramai. Pelan-pelan saja," kata Roky.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol