Cerita Thailand Melawan Plastik

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Cerita Thailand Melawan Plastik

Syanti Mustika - detikTravel
Selasa, 28 Jan 2020 20:15 WIB
Ilustrasi sampah plastik ( Luthfiana Awaluddin)
Bangkok -

Pemerintah Thailand telah melarang penggunaan plastik sekali pakai, tapi para pedagang streetfood tetap memakainya karena belum menemukan solusi pengganti. Inilah secuplik kisah Negeri Gajah Putih melawan plastik.

Larangan penggunaan plastik di sejumlah toko-toko besar Thailand sudah diberlakukan semenjak awal tahun. Ini berkaca kepada Thailand sebagai penghasil sampah plastik no 6 terbesar di dunia.

Mungkin toko-toko besar telah menerapkan untuk tidak memberikan kantong plastik sekali pakai kepada konsumennya. Tapi bagaimana dengan pedagang kali lima yang jumlahnya begitu banyak?

Hal inilah yang menjadi polemik bagi lingkungan Thailand. Di balik kebudayaan dan pantainya yang memukau, tersimpan fakta lirih di mana mereka jadi penghasil sampah plastik nomor 6 terbesar di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pantai di Phi Phi Island, ThailandPantai di Phi Phi Island, Thailand Foto: Aisa Marisa/d'Traveler

Bayangkan saja, dalam sehari mereka menghasilkan lebih dari 5.000 metrik ton sampah plastik. Dan tiga perempat dari jumlah itu berakhir di pembuangan sampah.

Karena alasan itulah, di awal tahun Pemerintah Thailand menegaskan akan menghilangkan semua kantong plastik sekali pakai pada tahun 2021. Juga melarang sedotan pada tahun 2022 dan mendaur ulang semua sisa kemasan plastik pada tahun 2027.

Toko-toko besar pun mulai bergerak, mereka tidak lagi membagikan kantong plastik untuk konsumennya semenjak tanggal 1 Januari. Tetapi lain cerita dengan pedagang kaki lima yang masih sulit menerapkan untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai.

Contohnya saja pedagang streetfood di di Yaowarat Road di Bangkok. Pedagang pun mengungkapkan bahwa mereka telah berusaha untuk tidak menggunakan plastik dalam melayani konsumen, namun mereka tidak menemukan apa yang bisa menggantikan plastik.

Pasar terapung di ThailandPasar terapung di Thailand (Petrus Sitepu/d'Traveler)

ADVERTISEMENT


Seperti penjual sup dan mie. Mereka masih menggunakan plastik untuk membungkus makanan yang mereka jual. Dan mereka menyerahkannya kepada konsumen yang membawa tas belanjaan sendiri. Begitu juga dengan pedagang beras, sup bebek, dan ragam jajanan dan makanan berkuah lainnya.

Sebenarnya ada bungkusan yang bisa digunakan untuk wadah beras yang terbuat dari ampas tebu. Namun harganya lebih mahal dari kantong plastik. Ini menjadi masalah baru bagi para pedagang kecil.

Walau pemerintah telah menghimbau semua untuk tidak menggunakan kantong plastik, kebijakan ini belum diikuti dengan pengawasan dan hukuman. Para pejabat sedang mempelajari UU dari negara-negara seperti Kenya, Meksiko, dan AS. Mereka juga akan meninjau hukuman yang berat, biaya tambahan dan tindakan lain yang efektif untuk mendukung kebijakan.

Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand, Varawut Silpa-archa mengatakan bahwa larangan penuh akan diterapkan tahun depan. Seperti yang dilansir detikcom dari Hindustan Times, larangan ini tak hanya kantong plastik, namun juga sedotan, gelas plastik dan styrofoam.

Ilustrasi minum dengan sedotan stainlessIlustrasi minum dengan sedotan stainless( iStock)



Puncak kekhawatiran Thailand kan plastik dimulai dari bayi Dugong yang mati Agustus lalu. Kejadian ini menjadi pembicaraan karena saat perut dugong dibelah, ditemukan potongan-potongan sampah plastik di ususnya.

Pada produk makarel lokal juga ditemukan mikroplastik yang membuat publik semakin fokus pada permasalahan sampah plastik. Pemerintah pun semakin yakin bahwa kebijakan larangan penggunaan kantong plastik adalah langkah tepat.

Eksekutif dari perusahaan Biodegradable Packaging for Environment Co yang berbasis di Bangkok mengatakan bahwa mereka telah melakukan kampanye selama bertahun-tahun. Perusahaan yang membuat wadah makanan dari ampas tebu ini memperkenalkan produknya yang terurai dalam 45 hari.

Sampah di lautSampah plastik di laut (Foto: CNN)


Dalam waktu 10 tahun perusahaan mereka pun berkembang, dari yang biasa memproduksi 10.000 wadah menjadi 2 juta dengan klien di 31 negara. Dengan adanya kebijakan pemerintah mereka pun mengalami kenaikan pemesanan dan produksi.

Begitu juga dengan Phinyowanich Co, bisnis keluarga yang membuat piring dari daun kelapa. Daun sawit yang bisa jadi sampah diolah perusahaan ini menjadi 70.000 piring setiap bulannya.

Selain membuat piring daun sawit, Phinyowanich Co akan mengembangkan produk mereka menjadi sedotan, gelas dan kotak makanan.

Begitu juga perusahaan-perusahaan lokal yang membuat sedotan dari bambu yang ramah lingkungan. Biasanya yang menggunakan jasa mereka adalah resor dan hotel di kawasan wisata. Namun mereka akan memperluas pasar ke kafe-kafe dan kedai kopi.

Thailand bukanlah satu-satunya negara Asia yang sadar akan kantong plastik dan lingkungan. Indonesia juga telah menyadari dan melakukan beberapa kebijakan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik.

Seperti beberapa restoran fastfood yang tidak lagi menyediakan sedotan untuk konsumen. Serta beberapa pusat perbelanjaan juga tidak menyediakan plastik lagi (bisa ditemukan di Bogor dan Bandung). Dan juga brand-brand minimarket mengenakan biaya Rp 200 untuk konsumen bila meminta kantong plastik untuk belanja.

Yuk traveler, kita mulai kurangi menggunakan kantong plastik sekali pakai. Langkah yang bisa traveler lakukan untuk awal adalah mengganti sedotan dengan stailess atau sedotan bambu. Dan juga biasakan bawa kantong belanja sendiri saat ingin belanja.






(sym/krs)

Hide Ads