Kesultanan yang istananya masih utuh menghadap Sungai Kapuas itu masih menyimpan berbagai bukti otentik kerajaan Sintang. Istana tersebut sering disebut Istana Al-mukarramah Kesultanan Sintang atau Keraton Sintang. Bangunan dengan gaya arsitektur rumah tinggal Belanda seluas 652 meter persegi ini dibangun pada 1937 masa pemerintahan raja ke-24 yaitu Raden Abdul Bachri Danu Perdana.
Di Istana Kesultanan Sintang, suasananya cukup sepi. Hanya ada keluarga inti kesultanan yang setiap hari di situ. Istana tersebut menghadap ke Sungai Kapuas atau tepatnya di Sakatiga, tempat bertemunya arus sungai kapuas dan melawi. Seluruh bangunan juga masih berupa papan kayu seperti zaman dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Kerabat Kesultanan Sintang, Ade Muhammad Iswadi, saat permulaan bergabung dengan NKRI, istana tersebut juga sempat dijadikan kantor pusat pemerintahan. Meski begitu, 15 tahun setelah Indonesia merdeka, Kerajaan Sintang masih belum terlalu utuh bergabung dengan NKRI, sehingga sistemnya semi kerajaan.
"Waktu itu Sintang bergabung dengan NKRI ini sekitar 15 tahun setelah Indonesia merdeka. Pada 1960 barulah Sintang secara utuh bergabung dengan NKRI, karena pada 15 tahun itu, Sintang mengalami semi kerajaan. Nah, pada saat bergabung dengan NKRI, keraton itu sempat dijadikan pusat kantor pemerintahan Sintang," ujar Ade kepada detikTravel, beberapa waktu lalu.
Istana Al-mukarramah tersebut merupakan saksi awal mula berdirinya Kota Sintang hingga menjadi pusat pemerintahan. Terletak di tempat strategis, istana ini masih tersimpan berbagai benda warisan cagar budaya. Seperti Gending Logender, Alquran tulisan tangan hingga meriam era kolonial.
Menurut Ade, komposisi bangunan ini hampir menyerupai aslinya. Kalaupun ada perombakan, hanya menyesuaikan dengan kekuatan bangunan seperti penggantian kayu. Di samping keraton, terdapat sebuah masjid megah berdiri dengan desain yang tak banyak diubah. Hanya beberapa perawatan saja untuk tetap memperkuat bangunan.
Sejarahnya, dulu terdapat sultan pertama yang mendeklarasikan sistem pemerintahan yang diubah menjadi Islam dari Hindu, yakni Nata Muhammad Syamsuddin Sa'adul Khiriwaddin. Sultan pertama ini bukan berarti yang pertama masuk Islam di Sintang, karena ada ayahnya yang lebih dulu masuk Islam, namun masih menggunakan sistem pemerintahan Hindu.
"Itu tepatnya pada Senin 12 Muharram 1083 H atau 1672 M. Sultan Nata ini adalah anak dari salah seorang raja, raja ini sudah masuk islam tapi kerajaannya masih memakai sistem hindu. Kemudian pangkat kakeknya juga sekitar tahun 1600-an sudah masuk Islam tapi masih sistem hindu. Baru lah pada zaman sultan Nata ini mendeklarasikan menjadi tata cara Islam. Meski begitu tidak meninggalkan seluruhnya tata cara hindu seluruhnya," ujarnya.
"Kalau kita lihat, deklarasi tersebut pertama dicetuskan saat raja menggunakan gelar sultan, kemudian membuat undang-undang berdasarkan syara dan syara berdasarkan Kitabullah. Kemudian mengangkat menteri sekaligus membangun fasilitas ibadah masjid," tambahnya.
Masjid yang dibangun pada 1672 oleh Sultan Nata ini diberi nama resmi dari Pemerintah Kabupaten Sintang dengan sebutan Masjid Jamik Sultan Nata Sintang pada 1987. Saat ini, Masjid Jami Sultan Nata merupakan masjid tertua di Kabupaten Sintang.
Setelah Sultan Nata, lanjut Ade, ada yang namanya Sultan Abdurrahman. Dalam masa ini dilakukan ekspansi penyebaran agama islam ke wilayah timur. Dalam sebuah catatan sejarah milik pangeran sekitar 1824, bahwa ada kerajaan kecil di wilayah timur Kalimantan Barat.
"Islam di Sintang ini, awalnya sebelum masuknya Belanda itu lebih kental dengan gelar gelar berbau muslim. Perkembangan Islam di Sintang ini juga mengalami pasang surut," ujarnya.
Selain masjid dan istana, terdapat juga makam-makam kerajaan yang memang terus turun temurun. Setiap ada keluarga dari raja, maka akan dimakamkan di komplek pemakaman tersebut. Namun sayang, pengelolaan pemakaman raja-raja ini masih belum terlalu banyak mendapat perhatian.
![]() |
"Pemakaman raja ini, kalau boleh dilihat ada beberapa makam yang belum yang mendapat perhatian. Kemudian, perawatannya sepertinya kurang rutin dilakukan. Dan ada beberapa makam yang sedianya, kalau berdasarkan kedudukannya seharusnya mendapat perhatian malah tidak," ujarnya.
"Setiap makam-makam ini memiliki catatan sejarahnya sendiri-sendiri. Kalau makam ini sekitar ratusan, kalau rajanya sendiri ada sekitar lebih dari 10 raja di daerah sini. Ini lokasinya di seberang keraton tadi, di antara persimpangan sungai," ujarnya.
Menurut Ade, sebenarnya sisa-sisa peninggalan kerajaan ini masih banyak. Namun, kondisinya tersebar di keluarga-keluarga keturunan raja.
"Sebenarnya peninggalan kerajaan ini banyak sekali. Tersimpan dan tersebar di keluarga. Karena keluarga ini memiliki masing-masing memiliki peninggalannya. Kondisi hari ini, di Sintang ini sebetulnya baru pada 2006 dilakukan penobatan kesultanan. Tapi kondisinya berbeda dengan kerajaan dulu. Karena wewenangnya lebih kepada menjaga kelestarian peninggalan kerajaan saja," pungkasnya.
Sebagai informasi, saat ini Istana Al-mukarramah Kesultanan Sintang dipimpin oleh HRM Ikhsani Perdana Ismail Tsafioeddin, yang bergelar Pangeran Ratu Sri Kesuma Negara V yang telah dinobatkan sebagai Sultan Sintang ke-30. Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT klik di sini.
Mendiang Raja-raja Sintang Memanggil Pemerintah
(akn/prf)
Komentar Terbanyak
Foto: Momen Liburan Sekolah Jokowi Bersama Cucu-cucunya di Pantai
Layangan di Bandara Soetta, Pesawat Terpaksa Muter-muter sampai Divert!
Wapres Gibran di Bali Bicara soal Pariwisata, Keliling Pasar Tradisional