Baru-baru ini, masyarakat Jepang dibuat heboh. Sebabnya, Shinjiro Koizumi (38), Menteri Lingkungan Jepang sekaligus anak dari ex Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi mengambil jatah cuti!
Dia mengambil cuti ayah (paternity leave) selama dua minggu setelah istrinya melahirkan. Hal itu menjadi yang pertama kalinya dalam pemerintahan Jepang, ada politisi yang ambil cuti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengambil cuti, mungkin merupakan hal yang biasa bagi kita. Namun di Jepang sana, cuti adalah hal yang dibenci.
Mengapa bisa begitu?
Dilansir detikcom dari berbagai media Jepang dan BBC yang pernah mengulas artikel How the Japanese are putting an end to extreme work weeks, masyarakat Jepang paling anti ambil cuti. Jangankan itu, dikasih hari libur lebih malah protes.
Awal tahun 2019 kemarin di bulan April misalnya, pemerintah Jepang menyetujui memberikan hari libur tambahan bagi warganya selama 10 hari. Itu terkait dengan kenaikan kaisar baru, Naruhito.
Hari libur tambahan tersebut digabung dengan libur nasional Golden Week. Golden Week adalah gabungan dari empat hari libur yang berdekatan dan dijadikan dalam satu waktu. Di bulan April sampai Mei jadinya ada 4 hari libur yakni Showa Day (29 April), Hari Konstitusi (3 Mei), Greenery Day (4 Mei) dan Hari Anak (5 Mei).
Nyatanya, orang Jepang malah tidak suka dan protes karena diberi hari libur tambahan tersebut. Sebuah survei dari koran Asahi Shimbun mengungkapkan, 45 persen orang Jepang tidak suka dengan hari libur yang diberikan itu dan hanya 35 persen yang senang.
Walah-walah....
![]() |
|
Budaya 'gila kerja' memang sudah merekat bagi masyarakat Jepang. Makanya, ketika Menteri Lingkungan Jepang mereka ambil cuti, masyarakatnya jadi geger.
Menurut angka dari pemerintahan Jepang, hanya 52% pekerja yang mengambil cuti tahunan dalam setahun. Jepang punya cuti tahunan yang berjumlah 20 hari. Tapi dari angka 52% itu tadi, mereka hanya mengambil setengah dari cuti tahunannya!
Perusahaan perjalanan Expedia pernah menyebar survei bagi para pekerja Jepang yang hanya mengambil setengah dari cuti tahunannya itu. Hasilnya, 58% dari mereka terpaksa mengambil cuti tahunan dan setelahnya merasa bersalah. Sisanya 43%, menyatakan mendapat dukungan dari pimpinan perusahaan untuk mengambil cuti.
BBC pernah mewawancarai para pekerja Jepang perihal cuti. Kebanyakan dari mereka punya alasan yang sama, kalau ambil cuti nanti diomongin sama orang lain dan namanya jadi jelek!
"Saya tidak ingin manajer mengatakan hal buruk tentang saya karena saya mengambil cuti. Lebih mudah untuk bekerja daripada mereka mengatakan hal-hal buruk tentang saya," kata Hideyuki, salah seorang insinyur yang bekerja di perusahaan teknologi di Tokyo.
Tahun 2019 kemarin, Hideyuki mencatat rekor mengambil cuti terbanyak dalam pekerjaannya. Dia mengambil cuti 3 hari dalam setahun.
"Satu hari di bulan April untuk upacara pendaftaran sekolah putri saya dan dua hari di bulan November. Itu cuti paling banyak yang pernah saya ambil," terangnya.
![]() |
Manajer salah satu restoran di Prefektur Gunma, Tsuyoshi mengaku tidak pernah memeriksa daftar cuti yang diajukan dari karyawannya. Apalagi dia tidak pernah mengambil cuti.
"Ketika ada yang cuti, rekan-rekan kerja akan berpikir negatif. Di sini, Anda akan dinilai lebih 'tinggi' jika bekerja keras dan tidak pernah cuti," terangnya.
Nyatanya, budaya 'gila kerja' juga menjadi masalah di Jepang. Dimulai tahun 1970-an, ada sebutan bernama 'Karoshi'. Artinya adalah kematian yang terjadi akibat terlalu banyak kerja. Angka kematian untuk hal itu pun sudah banyak.
Pemerintah Jepang sebenarnya tidak menutup mata terkait budaya 'gila kerja' dan 'benci cuti'. Itu dinilai sudah jadi masalah nasional!
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe sejak tahun 2018 kemarin membahas Work Style Reform Bill alias rancangan undang-undang tentang kehidupan ketenagakerjaan. Ada 8 poin yang beberapa di antaranya seperti, penetapan jam lembur, batas jam kerja, dan pemaksaan cuti.
![]() |
Di sisi lain, adanya kelompok pekerja berumur muda dan tua juga dinilai menjadi masalah. Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan, 62% dari pekerja muda (maksimal usia 34 tahun) merasa cutinya dirampas oleh para pekerja seniornya.
Usut punya usut, rupanya para pekerja yang berusia lebih dari 50 tahun memang tidak suka dengan cuti. Sebab, mereka masih menganut paham 'gila kerja' yang diwarisi oleh para pendahulunya.
"Sejak Periode Showa (1926-1989), filosofi kehidupan saat itu adalah para pria mengabdi kepada perusahannya dan istrinya tinggal di rumah untuk mengurus segala kebutuhan. Pekerjaan bagi para pria adalah yang nomor satu, makanya mereka sangat giat untuk bekerja sampai tak memikirkan cutinya," ujar Ono, profesor dari Universitas Hitotsubashi.
Budaya 'gila kerja' di Jepang setidaknya sedang diubah pelan-pelan. Salah satunya lewat salah satu menterinya yang berani ambil cuti seperti dijelaskan di awal artikel ini dan pemerintah Jepang yang ingin para pekerjanya tidak sampai kehilangan nyawa gara-gara kerjaan yang terlalu berat.
Orang-orang Jepang pun diharapkan pelan-pelan mungkin akan menghargai (dan mengambil) cutinya...
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol