Gunung Everest Tanpa Pendaki, Sherpa-Pilot Kehilangan Pekerjaan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Gunung Everest Tanpa Pendaki, Sherpa-Pilot Kehilangan Pekerjaan

Femi Diah - detikTravel
Kamis, 05 Nov 2020 21:06 WIB
Treking di Gunung Everest, Nepal.
Pendakian Gunung Everest sepi, sherpa hhingga pilot menganggur (Getty Images/iStockphoto/Koonyongyut)
Kathmandu -

Himalaya menjadi kota hantu selama pandemi virus Corona. Sherpa, pilot, penginapan, restoran, dan cafe-cafe, juga penyedia peralatan pendakian merindukan pendaki Gunung Everest.

Perekonomian Nepal terpukul sejak melorotnya jumlah pendaki di Gunung Everest karena wabah COVID-19. Perekonomian Nepal, khususnya di kawasan Himalaya, babak belur.

Sekitar satu juta orang yang bekerja di wisata pendakian gunung tertinggi dunia itu menganggur. Dari sherpa hingga pilot.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal tahun lalu, kawasan itu macet gegara lautan manusia. Ya, tahun lalu kerumunan turis menjadi bukti betapa cepat, sejumlah orang bahkan menilai terlalu cepat, industri pariwisata pendakian gunung di Nepal berkembang. Yang kemudian menjadi penyambung hidup bagi negara tersebut.

Nepal menghasilkan lebih dari USD 2 miliar pada 2019. Tapi kini, kas kosong. Pandemi telah menghentikan semua itu.

ADVERTISEMENT

Jalan setapak yang berkelok-kelok melalui Himalaya tidak menunjukkan jaket warna-warni wisatawan, termasuk yang mengarah ke base camp Everest. Cuma ada 150 pendaki yang tiba di musim gugur ini, kata pejabat imigrasi.

Sherpa yang tak terhitung jumlahnya dan pemandu pendakian gunung yang berpengalaman menjadi pengangguran. Mereka kembali menanam jelai atau menggembala yak di lereng gunung.

Banyak orang Nepal khawatir bahwa efek gabungan dari virus Corona dan pukulan telak terhadap ekonomi dapat membuat negara ini mundur selama bertahun-tahun.

"Saya sering berpikir saya akan mati kelaparan sebelum Corona membunuh saya," kata Upendra Lama, seorang sherpa.

Kini, dia cuma bergantung kepada sumbangan dari organisasi bantuan kecil untuk makan dia dan keluarganya.

"Berapa lama ini akan berlangsung?" kata dia.

Meskipun seluruh dunia mengajukan pertanyaan serupa, Nepal hanya memiliki sedikit sumber daya sebagai jalan keluar warganya. Kasus COVID-19 terus meningkat.

Sebagai gambaran Nepal hanya memiliki sekitar 1.000 tempat tidur perawatan intensif untuk penduduk 30 juta jiwa. Saat ini, pemerintah menginstruksikan agar orang-orang yang sakit tetap tinggal di rumah. Kecuali. jika mereka berada dalam kondisi kritis.

Selanjutnya: Perantau Juga Sulit Kirim Urang

Perantau Juga Sulit Kirim Uang

Penurunan ekonomi lebih mudah dilihat. Hotel dan kedai teh yang menempel di sisi pegunungan ditutup. Restoran, toko perlengkapan, dan bahkan beberapa tempat minum paling populer di ibu kota, Kathmandu, telah tutup, termasuk pub Tom and Jerry, yang selama beberapa dekade berfungsi sebagai suar bagi para backpacker.

"Tidak ada harapan lagi," kata pemilik pub, Puskar Lal Shrestha.

Kiriman uang dari warga Nepal yang bekerja di luar negeri menjadi korban lainnya. Ketika masa sedang bagus, jutaan orang mengirim kembali uang dari seluruh Asia, terutama dari negara-negara Teluk Persia.

Tahun lalu, total pengiriman uang hampir USD 9 miliar. Nepal bergantung pada pengiriman uang lebih dari sekedar negara lain.

Banyak orang Nepal melakukan pekerjaan yang tidak diminati, seperti penjaga keamanan atau pembantu. Tapi pekerjaan itu sudah bisa untuk mendapatkan upah bagus, terutama di negara yang memberikan pendapatan rata-rata sekitar USD 3 pr hari.

Kini, mayoritas dari perantau itu di-PHK. Beberapa telah dipulangkan, sementara yang lain tetap terjebak di luar negeri, tanpa pekerjaan dan bayang-bayang deportasi.

Situasi itu membuat mereka yang tinggal di Nepal dan bergantung uang kiriman terpaksa pindah ke apartemen yang lebih murah dan memutuskan untuk menyetop sekolah anak-anak mereka dari sekolah swasta.

"Jika dunia tidak segera mendapatkan vaksin Corona, pengiriman uang kami, yang berkontribusi sekitar 30 persen untuk GDP nasional, akan benar-benar mengering," kata Sujit Kumar Shrestha, sekretaris jenderal Asosiasi Agen Tenaga Kerja Asing Nepal.

Ketika ekonomi memburuk, rumah sakit mulai terisi. Para dokter mengatakan bahwa orang kaya dan orang yang memiliki hubungan politik memonopoli tempat tidur rumah sakit, membuat orang miskin yang sakit tidak punya tempat tujuan.

Halaman 2 dari 2
(fem/ddn)

Hide Ads