Perempuan-Perempuan Penjaga Hutan dan Pelindung Satwa Liar di Aceh

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Perempuan-Perempuan Penjaga Hutan dan Pelindung Satwa Liar di Aceh

Femi Diah - detikTravel
Selasa, 22 Des 2020 13:09 WIB
This picture taken on November 25, 2020 shows a group of women forest rangers patrolling in the forest of Bener Meriah, Aceh province. (Photo by CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP) / TO GO WITH: Indonesia environment forests gender social, FEATURE by Alfath Asmunda
Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
Jakarta -

Perempuan-perempuan ini mengemban tugas istimewa sebagai penjaga hutan dan satwa yang nyaris punah. Uniknya, mereka menjaga hutan Aceh.

Sumini bangun saat fajar untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Setelah menyelesaikan bagian itu, dia kemudian memimpin tim perempuan ke hutan di Pulau Sumatera. Mereka memerangi penggundulan hutan yang merajalela dan perburuan satwa liar.

Ibu lima anak berusia 45 tahun itu mengepalai tim polisi hutan spesial yang menangani pembalak dan pemburu liar yang mengancam harimau Sumatera, trenggiling, dan satwa liar hampir punah lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pelakunya sebagian besar adalah laki-laki, termasuk tetangga atau bahkan suami anggota tim, yang tinggal bersama di Desa Damaran Baru, Sumatera Utara.

Tugas berat itu masih ditambah dengan, diakui atau tidak, mereka, tim yang beranggotakan 30 orang itu, harus bergulat dengan stereotip seksis di provinsi Aceh yang ultra-konservatif. Selain itu, mereka harus menghaadapi pihak berwenang yang acuh tak acuh terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh penebangan liar dan pembukaan lahan untuk banyak perkebunan kopi di kawasan itu.

ADVERTISEMENT
This picture taken on November 25, 2020 shows a group of women forest rangers patrolling in the forest of Bener Meriah, Aceh province. (Photo by CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP) / TO GO WITH: Indonesia environment forests gender social, FEATURE by Alfath AsmundaKelompok permepuan penjaga hutan di Aceh. Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN

Deforestasi dan hilangnya habitat telah lama menjadi masalah di seluruh kepulauan Asia Tenggara yang luas, yang merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di Bumi.

"Hutan selalu dikaitkan dengan laki-laki," kata Sumini seperti dikutip AFP.

"Tapi, kami ingin mengubah itu dan mengatakan itu juga tentang wanita. Wanita yang marah tentang kerusakan lingkungan dan yang mengambil tindakan untuk memperbaiki masalah."

Karena Tidak Tega Melihat Hutan Gundul

Dulu, Sumini harus berjuang sendirian untuk menjaga hutan. Dia bahkan berseberangan pendapat dengan suaminya sendiri yang menilai lumrah saat banjir pada 2015 membawa serta kayu.

Sumini tidak bisa diam. Dia terus-menerus menyampaikan pendapatnya kepada suami kalau banjir itu bukan perkara biasa.

Akhirnya suami Sumini mengalah dan menyadari pula ada yang tidak beres dengan begitu banyak kayu dan puing-puing bercampur dengan air banjir yang mengalir dari gunung berapi di dekatnya dan menghancurkan 1.000 rumah penduduk.

Kini, Sumini tidak sendirian mengemban tugas itu. Kelompok yang dibuatnya bahkan membuat salah satu putra Sumini dan istrinya bergabung.

"Ketika kami sampai di sana, saya melihat gunung itu telah gundul," katanya.

"Saya berkata kepada suami saya 'Baiklah, jadi inilah alasannya. Hutan telah dihancurkan oleh manusia.' Saya sangat marah sehingga, sejak saat itu, saya berkata pada diri sendiri bahwa saya akan mengambil peran untuk melindungi hutan. "

Setelah ebrhasil meyakinkan suaminya, Sumini mencoba mencari dukungan dari pemerintah. Tapi, tim yang baru seumur jagung itu tidak mendapatkan bantuan dari pihak berwenang, kendati telah menyampaikan kondisi lereng bukit yang rusak akibat hilangnya pohon.

"Mereka mengira kami mengada-ada. Makanya kami membentuk tim," kata Sumini.

This picture taken on November 25, 2020 shows a group of women forest rangers patrolling in the forest of Bener Meriah, Aceh province. (Photo by CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP) / TO GO WITH: Indonesia environment forests gender social, FEATURE by Alfath AsmundaPerempuan penjaga hutan di Aceh Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN

Dua kali sebulan, para wanita berjilbab mengenakan topi floppy dan sepatu bot karet sebelum berangkat selama sekitar lima hari setiap kali menjelajahi medan pegunungan yang curam.

Mereka mencari tanda-tanda perburuan dan penebangan, memindahkan perangkap hewan, mendokumentasikan satwa liar endemik dan spesies tumbuhan dan memasang tanda peringatan terhadap aktivitas ilegal, yang mereka laporkan ke otoritas pemerintah.

Kelompok ini juga melacak bukti deforestasi dan penanaman kembali ribuan pohon, dengan bantuan lebih banyak sukarelawan.

Tapi, bahkan langkah-langkah itu tidak mendapatkan respons dari pemerintah Aceh. Bahkan, aksi mereka dicurigai terkait tindakan asusila.

"Orang-orang memiliki gambaran bahwa perempuan mungkin melakukan tindakan asusila di hutan karena biasanya kami didampingi oleh seorang lelaki," kata Sumini.

"Dan beberapa bertanya: 'Mengapa kita memiliki perempuan yang melindungi hutan? Itu bukan urusan mereka'."

Rekrut Pemburu Insyaf

Tapi sekarang situasinya berubah. Beberapa mantan pemburu dan penebang telah menjadi relawan pasukan penjaga hutan dan pelindung satwa liar itu.

Di antara mereka adalah Bustami, 54, yang menghabiskan waktu bertahun-tahun berburu trenggiling, mamalia bersisik yang diburu untuk diambil dagingnya dan sisiknya yang berharga dalam pengobatan tradisional China.

"Saya bahkan tidak bisa menghitung jumlah trenggiling yang saya bunuh," katanya.

"Saya menghasilkan banyak uang tetapi tidak bertahan lama. Sekarang, saya melindungi lingkungan sebagai balasan atas kesalahan masa lalu," kata dia.

Langkah Bustami untuk bertobat bukan perkara ringan. Bergabung dengan tim sebagai pemandu dan mendorong pemburu dan penebang lain untuk berhenti berdagang, Bustami kerap dicemooh oleh pemburu lain. Apalagi, tim itu dipimpin oleh perempuan.

"Tapi saya tidak malu lagi dipimpin oleh tim perempuan karena apa yang mereka lakukan untuk lingkungan itu mulia. "Saya harus mendukung mereka untuk memperjuangkan perjuangannya," kata Bustami.

Salah satu anggota penjaga hutan dan satwa liar itu, Annisa, bertekad untuk mengakhiri dosa di masa lalu, termasuk dosa suaminya yang pernah dipenjara karena pembalakan liar.

Suami Annisa, Muhammad Saleh, yang sekarang juga menjadi bagian dari kelompok itu, mengatakan dia telah menghentikan kegiatan ilegal.

"Desa kami akan menghadapi lebih banyak bencana jika polisi hutan tidak ada," kata pria berusia 40 tahun itu.

"Saya malu istri saya bekerja untuk melindungi lingkungan dan saya merusaknya," katanya.

"Penyesalan terbesar saya adalah beberapa satwa liar yang pernah saya buru bahkan tidak dapat dilihat lagi di hutan," dia menambahkan.

Dia juga mulai menilai tim penjaga hutan dan satwa liar yang diisi perempuan adalah hal biasa.

"Awalnya saya merasa aneh bahwa perempuan melindungi hutan," katanya.

"Tapi itu berubah setelah melihat semua kontribusi positif yang mereka buat."

Bahkan berkaca kejadian sebelumnya, biasanya anggota tim laki-laki yang kerap silang pendapat. Anggota perempuan yang kemudian menjadi penengah.

"Biasanya kami melakukan mediasi untuk menyelesaikan masalah," kata Sumini.

"Tapi seringkali para pria itu bertengkar satu sama lain saat berpatroli. Jadi jika mereka tidak bisa menyelesaikannya, maka para wanita turun tangan untuk memperbaiki keadaan," dia menambahkan.


Hide Ads