Pemerintah Jepang menetapkan negaranya memasuki situasi darurat sehingga dilakukan pengetatan mobilitas. Ini dilakukan seiring bertambahnya kasus COVID-19.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga pada Kamis (7/1/2021) menyampaikan bahwa keadaan darurat akan berlangsung selama satu bulan, mulai 7 Januari hingga 7 Februari 2021.
Kebijakan ini berlaku untuk wilayah Tokyo dan sekitarnya, seperti Kanagawa, Saitama, dan Chiba. Daerah-daerah itu dihuni oleh 30 persen dari total populasi Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kondisi darurat, masyarakat diminta untuk menghindari keluar rumah dan meminta bar serta restoran tutup pukul 8 malam.
Bagi yang melanggar aturan ini, pemerintah Jepang akan menyebutkan nama dan mempermalukan mereka. Sedangkan bagi yang taat, pemerintah akan memberikan subsidi 60.000 yen atau sekitar Rp 8,1 juta per hari.
Suga juga memberlakukan pembatasan kehadiran di acara olahraga dan lainnya menjadi 5.000 orang. Ia juga mendesak penduduk dari empat prefektur untuk bekerja dari rumah dalam upaya mengurangi lalu lintas komuter hingga 70 persen.
"Saya sangat khawatir dengan situasi yang parah di seluruh negeri baru-baru ini," kata Suga pada konferensi pers seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (8/1)
"Tolong anggap masalah ini dengan serius sebagai milik Anda, untuk melindungi semua kehidupan yang berharga, kakek, nenek, keluarga dan teman-teman Anda," ia melanjutkan.
Deklarasi itu datang ketika Tokyo mencatat kasus COVID-19 harian tertinggi mencapai 2.447. Angka ini memecahkan rekor 1.591 kasus yang dilaporkan pada hari Rabu (6/1). Secara nasional, rekor baru lebih dari 7.000 kasus pada hari Kamis.
Suga pun menjanjikan lebih banyak bantuan untuk rumah sakit yang merawat pasien COVID-19. Selain itu, ia sedang mengupayakan untuk menyetujui vaksin Corona yang akan mulai disuntikkan pada akhir Februari 2021.
Kebijakan Dikritik Ahli
Profesor Kings College London Kenji Shibuya mengusulkan harusnya Jepang melakukan lockdown untuk menekan penyebaran COVID-19.
"Fokus utama Perdana Menteri adalah memperbaiki ekonomi, itu bisa dimengerti. Tetapi untuk melakukan itu, Anda benar-benar perlu menekan penularan virus," kata Shibuya.
"Mereka harus mengumumkan lockdown," katanya.
Shibuya juga mengkritik keputusan pemerintah yang menargetkan bar dan restoran. Ia mengatakan dalam 60 persen kasus, penderita tidak tahu dari mana mereka tertular.
"Bisa jadi rumah tangga, ruang kerja, sekolah, kami tidak tahu. Tetap saja, mereka mengatakan bahwa makan di luar adalah sumber utama penularan, yang belum tentu didukung bukti," ia menjelaskan.
Sementara itu Hiroshi Nishiura, seorang ahli epidemiologi di Universitas Kyoto, mengatakan pada hari Selasa bahwa membatasi jam kerja untuk restoran di Tokyo hanya akan mengurangi kasus menjadi sekitar 1.300 per hari pada akhir Februari 2021.
Jumlah tersebut jauh lebih tinggi daripada 500 kasus per hari yang menurut Yasutoshi Nishimura, menteri yang bertanggung jawab atas tanggap darurat pandemi Jepang, diperlukan agar deklarasi darurat itu dicabut.
Nishiura mengatakan agar kasus-kasus turun ke tingkat yang dapat dikelola, deklarasi darurat perlu berlangsung setidaknya dua bulan dan pembatasan perlu diperketat.
"Keberhasilan harus diutamakan jika pemerintah berencana mengumumkan keadaan darurat," ujarnya.
"Jika upaya itu gagal, bisa jadi ada kerusakan sosial dan ekonomi yang sangat besar, selain kerusakan psikologis," paparnya.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol